Senin, 30 Oktober 2017

Apa itu offsetting untuk keanekaragaman hayati?

Read More......

Selasa, 24 Oktober 2017

Pembangunan Gedebage Kota Bandung.....(?)

Read More......

Selasa, 17 Oktober 2017

MASA DEPAN GEDEBAGE

MASA DEPAN GEDEBAGE
(SUMBER : UJANG SAFAAT – RANCABAYAWAK, Ketua RW 02 Kelurahan Cisaranteun Kidul)

Dari Penulis, Perangkum Cerita :
Tulisan ini bukanlah sejarah, sebab penulis sejarahwan, namun keingin tahuan penulis dan rasa penasaran yang luar biasa dalam, memberanikan diri menuliskan informasi yang sementara ini bersumber dari satu orang saja. Meskipun demikian cerita ini terkonfirmasi oleh pihak-pihak lain yang menjadi pembanding dalam banyak informasinya.
Sangat mungkin terjadi kesalahan, kekurangan, berlebihan atau kesan negative lainnya. Penulis berharap keterlibatan pihak-pihak lain yang kompeten untuk menyempurnakan penggalan-penggalan cerita ini, bahkan jika perlu menjadikannya sebagai sejarah. Sejarah yang dipahat dan diabadikan oleh pelaku sejarah, bukan pihak yang berkepentingan terhadap sejarah.
Harapan kemudian hari tulisan ini menggugah siapa saja untuk menyatukan pandangan ke depan, belajar dari masa lalu, meniti kehidupan menuju kesejahteraan dalam keridhaan Illahi Rabbi.
Segala kekurangan berasal dari penulis dan pemberi informasi, Kami mohon ampun dan maaf, kesempurnaan hanya dimiliki oleh Pencipta Allah Azza wa Jalla.

Bandung, 30 September 2017
Pemberi Informasi,
Ujang Safaat, S.Pd.
Ketua RW 02 Cisaranteun Kidul

Penulis, Perangkum Cerita,
Muhammad Ardhi Elmeidian
Koordinator Gerakan Peduli Sungai (GPS)
x








Tahun 1999 kawasan bandung timur tepatnya kecamatan gede bage masih tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat meskipun rencana pengembangan sudah dilaksanakan secara administrative, namun isyu tidak begitu diperhatikan karena belum ada bukti-bukti fisik. Sampai dengan awal tahun 2000an sungai cinambo yang membelah kecamatan gede bage antara kelurahan ranca bolang dan kelurahan cimencrang serta ranca numpang masih berupa aliran pengairan yang posisi air berada 1m di atas badan jalan dengan hanya tumpukkan tanah sebagai pembendungnya. Sehingga dapat dibayangkan jika suatu saat tanggul sepanjang sungai yang terbuat dari tumpukkan tanah tersebut jebol, entah apa jadinya kondisi masyarakat di wilayah tersebut. Benar saja di awal tahun 2000an itu terjadi banjir yang cukup besar sehingga menggenangi komplek griya cempaka arum hingga 1m. 

Tahun 2004 atau 2005 (kurang persis tepatnya) sungai cinambo di perlebar dan di perdalam untuk mengurangi banjir yang semakin hari semakin buruk jika datang hujan. Meskipun hingga hari ini di perempatan gede bage masih tetap banjir jika mendapat limpahan air dari wilayah ketinggian seperti : cimenyan. Hari ini aliran irigasi itu memiliki kedalam kira-kira 5 sampai 7 meter dari permukaan jalan, aliran airnya sering berubah warna menandakan pencemaran air sungai telah terjadi. Sungai besar dengan lebar 20 meter itu sekarang disebut SUNGAI CINAMBO.

Mencoba menggali masa lalu di kawasan Gedebage tidak mudah, kondisi social masyarakat begitu protektif, sampai penulis bertemu dengan seorang pensiunan guru yang merupakan pendatang di wilayah ini sekitar tahun 1959. Pak Didi atau Pak Guru Didi, tidak jarang juga dipanggil Pak RW, karena beliau menjadi RW di Kampung Ranca Biuk selama lebih dari 20 tahun. Beliau menceritakan banyak hal tentang kawasan Gedebage. Beberapa bulan ke belakang penulis juga bertemu dengan seorang RW yang bermukim tepat di sisi Kampung Ranca Biuk agak menjorok ke dalam, Kampungnya bernama Kampung Ranca Bayawak beliau adalah seorang guru salah satu sekolah dasar di Gedebage tepatnya di SD Ranca Sagatan. Ujang Safaat figur matang diusianya yang beranjak 40 tahun, bertutur panjang mengenai desanya dan kawasan Gedebage, pembangunan dan kearifan-kearifan yang sudah terbayang akan menghilang.

Gedebage tempo dulu terdapat sebuah kawasan atau kampung yang disebut “Ranca Kuntul” kurang lebih posisinya saat ini adalah Kantor Polsek Gedebage – Perumahan Adipura. Ranca Kuntul berdampingan dengan Kampung Ranca Bayawak dan ada Kampung Ranca Biuk diantaranya. Ranca dalam bahasa sunda berarti rawa, menjadi tempat yang nyaman bagi habitat burung-burung rawa. Hampir semua jenis burung rawa ada di ranca ini. Burung-burung yang eksis hingga hari ini di Ranca Bayawak bermula tahun 1970an, burung belekok memiliki kebiasaan berkelompok dan berpindah-pindah sehingga hal biasa bagi satwa ini berpindah dari Ranca Kuntul ke Ranca Bayawak, dan semua ini bertahan hingga hari ini, sedangkan burung-burung rawa lainnya sudah tidak ada lagi. Rawa dengan daratan yang basah, kondisi air yang tidak merata kedalamanya dan selalu berubah, menjadi tempat yang nyaman bagi burung-burung ini memenuhi isi perut mereka dan member makan anak-anak mereka.

Alam Ranca Bayawak mendukung komunitas belekok ini, karena sepanjang Sungai Cisaranteun yang sekarang disebut  “Kali Mati” ditumbuhi oleh rumpun-rumpun bambu panjangnya kurang lebih 6 km. Terdapat sebuah daerah yang  disebut sigarong yang dilalui kali mati atau Sungai Cisaranteun ini,  posisinya diantara jalan raya gedebage, ranca bayawak dan ranca sagatan. Kampung sigarong di perbukitan yang sekarang sudah rata, konon dahulu itu tempat sembunyi garong (rampok). 

Tahun 1924, dimasa penjajahan penduduk Gedebage yang asal namanya gede bagja  bermigrasi ke wilayah kadipaten, menurut cerita kakek saya (ujang safaat) kembalinya warga tidak langsung ke wilayah ranca bayawak tetapi disekitarnya, kakek saya misalnya datang kembali ke wilayah bebedahan (sekarang Babakan Penghulu) 6 tahun setelah peristiwa migrasi sekitar tahun 1930, perlahan-lahan mulai memasuki wilayah ranca bayawak lagi setelah proklamasi kemerdekaan 1945. Para sepuh kampung kembali ke kampung halaman mencirikan kampung dengan tanam-tanaman yang mereka tanam sedari dulu.

Wilayah gedebage tuan tanah besarnya adalah Bapak Haji Tajuri (baok=bapak buyut kang ujang), dari Bapak haji Tajuri mewariskan lahan di kepada Bapak Haji Usman (buyut kang ujang) untuk mengelola Ranca Bayawak sampai meninggalnya tahun 2000an umurnya sekitar 110 tahun. Keterlibatan sebagian besar warga gedebage dengan G 30 S/PKI adalah merupakan ketidak tahuan warga yang memang kondisinya ketika itu sulit akses informasi dan dalam kondisi yang sulit karena terjadi krisis ekonomi yang sangat dasyat. Kebanyakan warga tidak mengerti masalah politik dan hanya ingin kesejahteraan.

Keturunan Bapak Haji Usman ada 3 (tiga) di ranca bayawak, yang bungsu Ema Ikah, Ema Haji Iyar yang sulung (nenek kang ujang) meninggal usia 97 tahun dan Aki Sodikin. Anak Haji Usman 5 orang ; 3 tinggal di ranca bayawak dan dua sisanya di ranca numpang. Sampai hari ini anak cucu dari sesepuh kampung ranca bayawak masih tinggal di ranca bayawak yang merupakan keluarga besar dari Haji Usman. Alhamdulillah Ema Haji Iyah masih ada hingga hari ini. Setengah lembur ranca bayawak milik Ema Haji Isod anak dari Haji Abidin.

Kondisi terakhir wilayah Gedebage nyaris tidak ada persawahan, pepohonan diganti dengan beton dan besi, sungai Cisaranteu mati sejak lama, tersisa rumpun bambu di ranca bayawak tepat di bekas bantaran sungai Cisaranteun yang sudah mati sebagian sengaja ditanam di lokasi lain masih di Kampung Ranca Bayawak. Ada 8 rumpun bambu, 1 rumpun sekitar 4000 batang, jadi total kurang lebih 32.000 batang bambu. Di sisa rumpun bambu inilah burung-burung kuntul dan belekok bersarang.

Pengembangan wilayah Pertama kali adalah komplek perumahan Bumi Adipura, penguasaan awalnya ketika pembebasan lahan untuk jalan tol bandung sekitar tahun 1986 dengan perusahan yang sangat terkenal ketika itu BIMANTARA GRUP.

Tahun 1990 burung memenuhi rumpun bambu dan burung-burung tersebut dikonsumsi oleh masyarakat, hingga tahun 1995 mulai ada pelarangan menembak, karena khawatir burung tidak jatuh-tersangkut membusuk dan bau. Tidak boleh menembak bukan tidak boleh menangkap asalkan memanjat pohon bamboo. 1997 menjadi tahun yang menimbulkan kesan negative jika memanjat pohon bambu untuk menangkap burung, pengalaman seseorang yang memanjat untuk menangkap dan memelihara burung (bukan untuk dikonsumsi) mengalami penyakit gatal-gatal yang tak kunjung sembuh, penyakit gatal-gatal ini hilang setelah melakukan ritual khusus dan akhiri dengan melepas burung yang ditangkapnya. Singkat cerita sembuhlah penyakit gata-gatal tersebut, mulailah warga tidak mengganggu burung, pamali katanya, boleh percaya – boleh tidak.

Mayoritas mata pencarian penduduk Ranca Bayawak dengan bertani dan beternak, lahan sawah dan kolam ikan milik kami perlahan tapi pasti dibeli oleh orang-orang kota yang hari ini kesemuanya menjadi milik PT. Sumarecon. Sebelah barat kali mati tanah-tanah tersebut milik dari Haji Umayah, Haji Umamah, Kiyai Haji Safei, termasuk yang sekarang menjadi perumahan Adipura. Para petani di wilayah Gedebage ini mulai menjual sawahnya semenjak normalisasi sungai di tahun 1997. Normalisasi sungai ini bertujuan menghindari banjir yang terjadi dari tahun ke tahun. Namun pada hakikatnya normalisasi tersebut hanya memindahkan banjir dari Gedebage ke Bale Endah, Dayeuh Kolot dan Bojong Soang (tambahan dari kang Ramdan Walhi Jabar).

Tahun 2004 isyu wabah flu burung merebak, beberapa orang di beberapa daerah terserang penyakit ini, Dinas Kesehatan Kota Bandung dan Kecamatan Gedebage meminta kepada pak haji (bapak kang ujang) untuk membabat rumpun-rumpun bambu agar burung-burung pergi karena khawatir wabah flu burung. 4 rumpun bambu hilang ditebang, posisinya dekat rumah kakak saya dan saung. Sekarang tinggal sisa 4 rumpun bambu saja.
Di tahun 2009 Walikota Bandung Dada Rosada melirik potensi belekok, empat tahun kemudian, di tahun 2013 baru mengunjungi  Kampung Ranca Bayawak, BICON* adalah komunitas yang paling gencar mempropagandakan mengenai keberadaan kawasan Ranca Bayawak dengan burung belekoknya.

Bicon mendorong pemerintah agar kawasan Ranca Bayawak dijadikan kawasan konservasi, mendorong pemerintah kala itu untuk membuat PERDA perlindungan lingkungan deiterbitkanlah produk PERDA, entah bagaimana prosesnya hari ini dipasang Plang PERDA NO.11 Tahun 2005 di sekitar kampung Ranca Bayawak di dekat rumpun-rumpun bambu. Semenjak dipasang Plang Perda tersebut masyarakat mulai sungkan untuk melakukan perburan dan mengganggu burung di kawasan Ranca Bayawak. Kami sebagai warga Ranca Bayawak yang paling dekat dengan kawasan dimana burung bersarang tidak lagi repot-repot mengingatkan warga yang ingin mengganggu burung-burung tersebut, tinggal menunjukkan plang perda saja, para pengganggu burung pun pergi, meskipun perginya para pemburu burung ini tidak menghentikan mereka berburu burung di luar Ranca Bayawak.

*Adalah Bicons, yakni sebuah komunitas yang sangat fokus dengan upaya konservasi burung. Bicons ini merupakan singkatan dari Bird Conservation Society. Komunitas yang mulai berdiri sejak 20 September 1999.

"Birdcons sendiri basicnya orang-orang yang memiliki hobi pengamatan burung. Awalnya untuk mengaplikasikan ilmu yang diajarkan saat praktikum, salah satunya jalan jalan mengamati burung. Dari situlah awal berdirinya Bicons," ujar salah satu koordinator Komunitas Bicons Abdul Rahman Hafif.

Tak ada asap jika tak ada api, penyebab kawanan burung-burung ini kerasan bersarang di ranca bayawak -  padahal menurut para ahli, burung-burung jenis kuntul ini adalah burung yang sensitive, tidak bisa hidup berdampingan dengan manusia, namun seiring waktu berjalan fakta berbicara lain ; burung-burung ini menetap di kampung di wilayah permukiman manusia, sungguh diluar kebiasaan. Semua ini terjadi karena warga tidak mengganggu burung-burung ini, bahkan warga menjaganya, hal inilah yang menyebabkan kawanan burung hingga hari ini eksis di kawasan Ranca Bayawak. Tidak dipungkiri kondisi alam kampung Ranca Bayawak yang alami dan dengan tidak diganggunya satwa-satwa ini bahkan menjaga satwa-satwa ini dari gangguan tangan-tangan jahil, menjadikan Ranca Bayawak menjadi habitat satwa-satwa ini tinggal dalam waktu yang sangat lama.

Normalilasi Sungai Cinambo dengan lebar 20 meter dan kedalaman 7 meter mengakibatkan Sungai Cisarateun menjadi kering dan disebut kali mati. Berbarengan dengan normalisasi sungai peralihan kepemilikan tanah mulai terjadi, para pengusaha mulai melirik wilyah Gedebage, Sungai Cisaranteun yang tidak lagi dialiri air makin kering dengan adanya sumbatan-sumbatan, dan pengurangan bibir sungai, awalnya memiliki lebar 10 meter kini tinggal 3 sampai 4 meter saja. Kurang lebih 4 meter batas pinggir sungai semakin tidak jelas pergantian kepemilikannya. Contoh blok sigarong milik Haji Umayah atau Haji Umamah sungainya langsung diurug, jadi benar-benar mati sudah Sungai Cisaranteun ini. Sebagai kepedulian pemerintah terhadap warga yang mayoritas bertani dibuatlah PUMP HOUSE untuk mengalirkan air ke sungai cisaranteun yang telah mati untuk mengairi sawah penduduk Gedebage. Kondisi PUMP HOUSE hari ini tidak lagi berfungsi karena sungai cisaranteun atau kali mati sudah semakin terpampat oleh urugan-urugan “demi pembangunan”. Para petani pun mulai tidak nyaman bertani, sejalan dengan ketidak nyamanan para petani – para pengusaha berminat dengan investasi lahan di wilayah Gedebage, seperti pemangsa yang siap melahap mangsanya yang sudah tidak berdaya. Berpindahlah kepimilikan lahan dari warga Gedebage ke para pengusaha, seakan sudah diskenariokan : petani selalu kekeringan, panen terbaik hanya 1 (satu) tahun sekali – disisi lain para pengusaha bersiap membeli kapan saja lahan sawah milik warga.

Tahun 2009 mulailah penguasaan PT. MAHKOTA PERMATA PERDANA, sebagian lahan milik perumahan Adipura dibeli oleh PT. MPP, mekanisme penguasaan lahan dari perumahan ADIPURA ke AGUNG PODOMORO GRUP (APG) kemudian MAHKOTA PERMATA PERDANA (MPP). Harga awal pasaran hanya kisaran 125ribu rupiah sampai 225 ribu rupiah per meter persegi. Karena pasar tanah di Gedebage ramai, para pengusaha kecilpun memberanikan diri dengan menghargai lahan sawah tersebut mulai dari 400 ribu rupiah per meter persegi sampai 700 ribu permeter persegi dan akhirnya dibeli oleh sumarecon dengan harga 800 ribu rupiah permeter persegi hingga tahun 2014. Hari ini harga sudah mencapai 1,8 juta rupiah per meter persegi lahan sawah. Masih ada lahan milik pemerintah di sekitar kawasan ini angkanya tidak pasti, namun ada di beberapa titik.

Awal penguasaan tanah PT. Sumarecon adalah lahan sawah yang terletak di tengah-tengah sawah milik warga (milik Haji Jaelani dan Pak Wirya) sebesar 25 hektar berbatasan dengan kampung ranca bayawak memanjang hingga ke belakang PT. Pertamina Jalan Soekarno Hatta, lahan ini membelah hamparan sawah yang luasnya ratusan hektar membelah Kecamatan Gedebage.

Kembali mengenai burung kuntul dan belekok, biasanya jika musim kemarau yang tersisa hanya belekok saja, tapi hari-hari belakangan ini kuntul juga banyak bersarang. Saya diajarkan oleh nini saya untuk menanam bambu dan petai cina (lamtoro/selong), ternyata lamtoro itu berfungsi sebagai bahan baku pembuat sarang berkembangbiaknya belekok dan pohon bambu sebagai rumahnya. Sarang belekok ini berbeda dengan sarang burung lain, terkesan lebih ringkih dan apabila tertiup angin cukup kencang mudah jatuh.

Bulan oktober sampai desember itu masa kawin untuk berkembang biak, telurnya hijau seperti warna telur bebek, bentuknya kecil seperti telur puyuh, dierami selama 2 minggu kemudian menetas. Perawatan oleh induknya selama 4 bulan dari januari hingga april. 4 bulan kemudian di bulan juli-agustus baru burung ini dewasa. Secara alami jika sarang dan burung bayi jatuh dari pohon bambu kemungkinan besar bayi burung mati, karena tidak bisa lagi di bawa ke atas pohon bambu yang menjadi sarangnya. Untuk tetap bertahan di ranting-ranting bambu bayi-bayi burung ini apabila tertiu angin berpegangan, bergelantungan ke ranting bambu alam mendewasakan satwa ini dengan caranya sendiri.

Di bulan oktober biasanya berdatangan burung migran dari berbagai daerah, malah menurut peneliti ada yang datang dari Australia sekedar untuk kawin dan mereka pergi lagi, pada musim ini burung-burung local biasanya berpindah sarang ke sebelah utara karena terusir oleh burung-burung migran. Subhanallah, Maha Suci Allah, tidak terlalu jauh berbeda jalan hidup burung dengan manusia yang tinggal berdampingan selama puluhan tahun dengannya. Pribumi mengalah karena kondisi yang tidak memaksa mereka.

Read More......