Tahun 2006 kebijakan para wakil rakyat dan pimpinan Kota Bandung untuk membangun pemusnah sampah masal yang berskala 1500 ton / hari – disesuaikan dengan produksi sampah kota. Kebijakan ini mendapatkan respon negatif dari warga sekitar dan para pencinta lingkungan dengan menolak rencana pembangunan pemusnah sampah tersebut. PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang direncanakan Kota Bandung adalah alat pembakaran sampah (incinerator) besar, mudahnya alat ini diprediksi oleh para ahli mampu menyelesaikan persoalan persampahan Kota Bandung yang tidak memiliki TPA.
Patut diakui TPA yang eksis hingga hari inipun sekiranya tidak mampu menampung sampah kota bandung kemudian hari, hal ini dikarenakan infrastruktur alam disekitar TPA tidak mendukung atau kurang memadai untuk menampung produksi sampah kota secara terus-menerus. Sebaik-baik pengelolaan sampah adalah pengelolaan berkesinambungan, yaitu pengelolaan yang dilakukan dari sumber sampah – TPS (tempat pembuangan sementara) – kemudian TPA (tempat pembuangan akhir), dengan terencana dan dinamis.
Maksudnya tanggung jawab persampahan dibagi kepada setiap masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, kepala wilayah sampai kepada pemimpin negara ; semua dibebani tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan fungsinya. Tata ruang juga berperan dalam penyelesaian persampahan karena penataan ruang yang salah dapat berdampak kepada sulitnya melakukan pengelolaan sampah. Meskipun sekarang kota seperti tidak tertata namun tidak ada kata terlambat dalam membuat kebijakan baru yang mewajibkan setiap individu dan kelompok untuk menyediakan infrastruktur alami dalam lingkungannya – kalau memungkinkan setiap rumah. Pertanian dan peternakan seharusnya menjadi lompatan strategis yang patut dilibatkan untuk melengkapi mata rantai dari pengelolaan sampah.
Persoalan kota tidak memiliki lahan pertanian dan peternakan adalah hal lain yang membutuhkan kerjasama regional dengan pedesaan atau wilayah-wiayah penopang disekitar kota. Meskipun sangat sedikit warga kota yang bertani dan berternak, sepertinya diperlukan data baru untuk mengumpulkan mereka dan menjadikan jejaring baru dalam simbiosis mutualis pengelolaan sampah kota. Pertanian dan peternakan kota ini tidak harus pertanian dan peternakan produksi seperti di desa tetapi bisa juga peternakan dan pertanian hoby untuk perumahan.
Data ini akan bisa dijadikan sandaran berapa besar peran pedesaan untuk berkerjasama dalam pengentasan persampahan sebagai hilir dari pengelolaan sampah. Hilir pengelolaan sampah berdasarkan berbagai riset dan pengalaman lapangan banyak ahli dan pengusaha dapat dibagi menjadi 2, yaitu : 1.hilir sampah anorganik adalah pabrik-pabrik yang berusaha dibidang daur ulang (plastik, kertas, logam dsb) ; 2.hilir sampah organik adalah para petani dan peternak yang membuthkan pupuk dan pakan untuk ternak. Mungkinkah melakukan semua ini dalam waktu dekat dengan persoalan sampah yang sudah sedemikian rumitnya dan tanpa memiliki TPA.
Berbuat sesuatu yang bukan menjadi kebiasaan memang sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin, selagi akhir dari kesuluruhan kegiatan ini berdampak positif kepada semua pihak. Tidak adanya TPA bukan menjadi penghalang untuk melakukan kegiatan ini, karena TPA bisa meminta bantuan kepada tetangga daerah atau kepada instansi pemerintah yang lebih tinggi dengan TPA regional.
Pengalaman dilapangan membuktikan bahwa sekurang-kurangnya 20% sampah telah dikurangi oleh para pengusaha daur ulang sampah anorganik, kenapa hanya 20%? Karena tekhnologi pengelolaan yang mahal dan pasar yang tidat stabil, tekhnologi pengelolaan sampah anorganik yang didaur ulang membutuhkan modal ratusan juta sampai milyaran rupiah sehingga sedikit sekali masyarakat yang mampu melakukan usaha ini. Belum lagi pasar yang tidak stabil, seringkali pengusaha-pengusaha kecil bangkrut dikarenakan ketidak stabilan harga jual bahan-bahan daur ulang. Maka dibutuhkan standarisasi baku dari pemerintah dengan mengontrol pasar bahan-bahan daur ulang sampah anorganik serta melakukan berbagai riset yang bisa diterapkan oleh masyarakat dengan modal relatif kecil. Setelah itu barulah pemerintah bisa menyediakan hibah berupa alat dan mesin untuk mendaur ulang sampah anorganik dalam skala kecil dengan tidak melupakan memfasilitasi masyarakat sehingga bisa berhubungan dengan sektor industri yang lebih besar dengan membuat jejaring yang mudah diakses oleh siapa saja.
Menurut data PD.Kebersihan Kota Bandung tahun 2002 sampah kota bandung didominasi oleh sampah rumah tangga 60%, masing-masing 10% oleh pasar, pertokoan dan hotel. Artinya 80% sampah kota bandung memiliki kesamaan jenis sampah yang dalam undang-undang no 18 tahun 2008 disebut sebagai sampah rumah tangga atau sampah sejenis sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga ini rata-rata perbandingan organik dan anorganiknya adalah 70 : 30. Maka jika para pelaku usaha daur ulang sampah anorganik bisa melakukan pengurangan hingga 20% maka sampah anorganik yang tersisa dari jenis ini hanya 10%, bagaimana dengan sampah organik?
Hulu sampah organik adalah para petani dan peternak baik kecil maupun besar, kenapa tidak dikembalikan kepada mereka? Ini adalah ungkapan salah seorang dosen ITB yang cukup aktif di DPKLTS (dewan pemerhati kehutanan dan lingkungan tatar sunda) Prof.Mubiar Purwasasmita, pernyataan yang retoris mungkin tapi hari ini telah terbukti dengan melakukan pengeloaan sampah organik menjadi tepung, bio gas dan pupuk organik cair serta probiotik untuk hewan yang awanya hanya dijadikan kompos. Di dunia maya telah tersebar metode pengeringan, metode dewatering, metode fermentasi cairan dan padatan, semua proses ini akhirnya adalah hasil yang menguntungkan berupa pakan ternak, pupuk cair dan energi berupa gas.
Sekarang coba hitung jika dari 80% sampah kota bandung diolah dengan cara-cara di atas selain menghasilkan telah terjadi pengurangan yang sangat drastis. Jika timbulan perhari sampah adalah 1500 ton, kemudian diolah maka yang terbuang hanya 10% saja – atau sama dengan 150 ton per hari. Dengan demikian sebanyak 1350ton sampah telah terolah, seandainya 1350 ton sampah tadi seharga Rp 250,- per kg saja, maka akan menjadi benefit yang setara dengan Rp 337.500.000,- per hari = Rp 10.125.000.000,- per bulan, bandingkan dengan incinerator besar berupa PLTSa yang bukan menghasilkan malah memerlukan biaya (rugi) sebesar Rp 7.500.000.000,- per bulan. PLTSa inipun hanya berkemampuan 700ton/hari, bisa disama artikan biaya (kerugian) yang sebenarnya adalah 15milyar per bulan. Seperti mimpi memang membandingkan angka-angka tersebut dan dengan setumpuk persoaan persampahan kota yang sedemikian pelik, tapi semua ini tidak mustahil dengan melakukannya di lokasi-lokasi yang berpotensi, misalnya karena memang produksi sampah organik adalah yang terbesar bisa dilakukan pilot project di beberapa pasar induk yang faktanya memproduksi sampah organik hingga 90%. Pararel dengan pasar induk patut dilakukan pilot project di beberapa rw atau kecamatan di kota bandung. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan analisis yang mendekati kebenaran. Jika ada kekhawatiran mengenai pilot project ini apakah PLTSa bukan pilot project? Apakah kota bandung pernah melakukan incinerasi masif sampah? Beberapa contoh penerapan incinerator di dalam kota bandung atau daerah lain malah tutup karena dampak lingkungan dan biaya yang besar, ini belum selesai karena incinerator memproduksi abu, jika prosesnya masif maka abunya juga masif.
Kesimpulannya sampah kota bandung sangat mungkin diselesaikan dengan reduksi sampah yang masif dengan melakukan berbagai kebijakan-kebijakan publik yang tidak perlu politisasi (kepentingan golongan) dalam membuatnya, cukup dengan memperhatikan fakta dan data aktual. Dengan demikian hari ini persoalan sampah kota bandung adalah persoalan kebijakan publik (politik) yang harus mengedepankan kepentingan masyarakat dan menguntungkan masyarakat bukan sebaliknya.
Read More......