MASA DEPAN GEDEBAGE
(SUMBER : UJANG SAFAAT – RANCABAYAWAK, Ketua
RW 02 Kelurahan Cisaranteun Kidul)
Dari Penulis, Perangkum Cerita :
Tulisan ini bukanlah sejarah, sebab penulis
sejarahwan, namun keingin tahuan penulis dan rasa penasaran yang luar biasa
dalam, memberanikan diri menuliskan informasi yang sementara ini bersumber dari
satu orang saja. Meskipun demikian cerita ini terkonfirmasi oleh pihak-pihak
lain yang menjadi pembanding dalam banyak informasinya.
Sangat mungkin terjadi kesalahan,
kekurangan, berlebihan atau kesan negative lainnya. Penulis berharap
keterlibatan pihak-pihak lain yang kompeten untuk menyempurnakan
penggalan-penggalan cerita ini, bahkan jika perlu menjadikannya sebagai
sejarah. Sejarah yang dipahat dan diabadikan oleh pelaku sejarah, bukan pihak
yang berkepentingan terhadap sejarah.
Harapan kemudian hari tulisan ini
menggugah siapa saja untuk menyatukan pandangan ke depan, belajar dari masa
lalu, meniti kehidupan menuju kesejahteraan dalam keridhaan Illahi Rabbi.
Segala kekurangan berasal dari penulis
dan pemberi informasi, Kami mohon ampun dan maaf, kesempurnaan hanya dimiliki
oleh Pencipta Allah Azza wa Jalla.
Bandung, 30 September 2017
Pemberi Informasi,
Ujang Safaat, S.Pd.
Ketua RW 02 Cisaranteun Kidul
|
Penulis, Perangkum
Cerita,
Muhammad Ardhi Elmeidian
Koordinator Gerakan Peduli Sungai (GPS)
|
Tahun 1999 kawasan bandung timur
tepatnya kecamatan gede bage masih tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat meskipun
rencana pengembangan sudah dilaksanakan secara administrative, namun isyu tidak
begitu diperhatikan karena belum ada bukti-bukti fisik. Sampai dengan awal
tahun 2000an sungai cinambo yang membelah kecamatan gede bage antara kelurahan
ranca bolang dan kelurahan cimencrang serta ranca numpang masih berupa aliran
pengairan yang posisi air berada 1m di atas badan jalan dengan hanya tumpukkan
tanah sebagai pembendungnya. Sehingga dapat dibayangkan jika suatu saat tanggul
sepanjang sungai yang terbuat dari tumpukkan tanah tersebut jebol, entah apa
jadinya kondisi masyarakat di wilayah tersebut. Benar saja di awal tahun 2000an
itu terjadi banjir yang cukup besar sehingga menggenangi komplek griya cempaka
arum hingga 1m.
Tahun 2004 atau 2005 (kurang persis tepatnya) sungai cinambo di
perlebar dan di perdalam untuk mengurangi banjir yang semakin hari semakin
buruk jika datang hujan. Meskipun hingga hari ini di perempatan gede bage masih
tetap banjir jika mendapat limpahan air dari wilayah ketinggian seperti :
cimenyan. Hari ini aliran irigasi itu memiliki kedalam kira-kira 5 sampai 7
meter dari permukaan jalan, aliran airnya sering berubah warna menandakan
pencemaran air sungai telah terjadi. Sungai besar dengan lebar 20 meter itu
sekarang disebut SUNGAI CINAMBO.
Mencoba menggali masa lalu di kawasan
Gedebage tidak mudah, kondisi social masyarakat begitu protektif, sampai
penulis bertemu dengan seorang pensiunan guru yang merupakan pendatang di
wilayah ini sekitar tahun 1959. Pak Didi atau Pak Guru Didi, tidak jarang juga
dipanggil Pak RW, karena beliau menjadi RW di Kampung Ranca Biuk selama lebih
dari 20 tahun. Beliau menceritakan banyak hal tentang kawasan Gedebage.
Beberapa bulan ke belakang penulis juga bertemu dengan seorang RW yang bermukim
tepat di sisi Kampung Ranca Biuk agak menjorok ke dalam, Kampungnya bernama
Kampung Ranca Bayawak beliau adalah seorang guru salah satu sekolah dasar di
Gedebage tepatnya di SD Ranca Sagatan. Ujang Safaat figur matang diusianya yang
beranjak 40 tahun, bertutur panjang mengenai desanya dan kawasan Gedebage,
pembangunan dan kearifan-kearifan yang sudah terbayang akan menghilang.
Gedebage tempo dulu terdapat sebuah
kawasan atau kampung yang disebut “Ranca Kuntul” kurang lebih posisinya saat
ini adalah Kantor Polsek Gedebage – Perumahan Adipura. Ranca Kuntul
berdampingan dengan Kampung Ranca Bayawak dan ada Kampung Ranca Biuk
diantaranya. Ranca dalam bahasa sunda berarti rawa, menjadi tempat yang nyaman
bagi habitat burung-burung rawa. Hampir semua jenis burung rawa ada di ranca
ini. Burung-burung yang eksis hingga hari ini di Ranca Bayawak bermula tahun
1970an, burung belekok memiliki kebiasaan berkelompok dan berpindah-pindah
sehingga hal biasa bagi satwa ini berpindah dari Ranca Kuntul ke Ranca Bayawak,
dan semua ini bertahan hingga hari ini, sedangkan burung-burung rawa lainnya sudah
tidak ada lagi. Rawa dengan daratan yang basah, kondisi air yang tidak merata
kedalamanya dan selalu berubah, menjadi tempat yang nyaman bagi burung-burung
ini memenuhi isi perut mereka dan member makan anak-anak mereka.
Alam Ranca Bayawak mendukung komunitas
belekok ini, karena sepanjang Sungai Cisaranteun yang sekarang disebut “Kali Mati” ditumbuhi oleh rumpun-rumpun bambu
panjangnya kurang lebih 6 km. Terdapat sebuah daerah yang disebut sigarong yang dilalui kali mati atau
Sungai Cisaranteun ini, posisinya
diantara jalan raya gedebage, ranca bayawak dan ranca sagatan. Kampung sigarong
di perbukitan yang sekarang sudah rata, konon dahulu itu tempat sembunyi garong
(rampok).
Tahun 1924, dimasa penjajahan penduduk Gedebage yang
asal namanya gede bagja bermigrasi ke
wilayah kadipaten, menurut cerita kakek saya (ujang safaat) kembalinya warga
tidak langsung ke wilayah ranca bayawak tetapi disekitarnya, kakek saya
misalnya datang kembali ke wilayah bebedahan (sekarang Babakan Penghulu) 6
tahun setelah peristiwa migrasi sekitar tahun 1930, perlahan-lahan mulai
memasuki wilayah ranca bayawak lagi setelah proklamasi kemerdekaan 1945. Para
sepuh kampung kembali ke kampung halaman mencirikan kampung dengan tanam-tanaman
yang mereka tanam sedari dulu.
Wilayah gedebage tuan tanah besarnya adalah Bapak
Haji Tajuri (baok=bapak buyut kang ujang), dari Bapak haji Tajuri mewariskan
lahan di kepada Bapak Haji Usman (buyut kang ujang) untuk mengelola Ranca
Bayawak sampai meninggalnya tahun 2000an umurnya sekitar 110 tahun.
Keterlibatan sebagian besar warga gedebage dengan G 30 S/PKI adalah merupakan
ketidak tahuan warga yang memang kondisinya ketika itu sulit akses informasi
dan dalam kondisi yang sulit karena terjadi krisis ekonomi yang sangat dasyat.
Kebanyakan warga tidak mengerti masalah politik dan hanya ingin kesejahteraan.
Keturunan Bapak Haji Usman ada 3 (tiga) di ranca
bayawak, yang bungsu Ema Ikah, Ema Haji Iyar yang sulung (nenek kang ujang) meninggal
usia 97 tahun dan Aki Sodikin. Anak Haji Usman 5 orang ; 3 tinggal di ranca
bayawak dan dua sisanya di ranca numpang. Sampai hari ini anak cucu dari
sesepuh kampung ranca bayawak masih tinggal di ranca bayawak yang merupakan
keluarga besar dari Haji Usman. Alhamdulillah Ema Haji Iyah masih ada hingga
hari ini. Setengah lembur ranca bayawak milik Ema Haji Isod anak dari Haji
Abidin.
Kondisi terakhir wilayah Gedebage
nyaris tidak ada persawahan, pepohonan diganti dengan beton dan besi, sungai
Cisaranteu mati sejak lama, tersisa rumpun bambu di ranca bayawak tepat di
bekas bantaran sungai Cisaranteun yang sudah mati sebagian sengaja ditanam di
lokasi lain masih di Kampung Ranca Bayawak. Ada 8 rumpun bambu, 1 rumpun
sekitar 4000 batang, jadi total kurang lebih 32.000 batang bambu. Di sisa
rumpun bambu inilah burung-burung kuntul dan belekok bersarang.
Pengembangan wilayah Pertama kali adalah komplek
perumahan Bumi Adipura, penguasaan awalnya ketika pembebasan lahan untuk jalan
tol bandung sekitar tahun 1986 dengan perusahan yang sangat terkenal ketika itu
BIMANTARA GRUP.
Tahun 1990 burung memenuhi rumpun
bambu dan burung-burung tersebut dikonsumsi oleh masyarakat, hingga tahun 1995
mulai ada pelarangan menembak, karena khawatir burung tidak jatuh-tersangkut
membusuk dan bau. Tidak boleh menembak bukan tidak boleh menangkap asalkan
memanjat pohon bamboo. 1997 menjadi tahun yang menimbulkan kesan negative jika
memanjat pohon bambu untuk menangkap burung, pengalaman seseorang yang memanjat
untuk menangkap dan memelihara burung (bukan untuk dikonsumsi) mengalami
penyakit gatal-gatal yang tak kunjung sembuh, penyakit gatal-gatal ini hilang
setelah melakukan ritual khusus dan akhiri dengan melepas burung yang
ditangkapnya. Singkat cerita sembuhlah penyakit gata-gatal tersebut, mulailah
warga tidak mengganggu burung, pamali katanya, boleh percaya – boleh tidak.
Mayoritas mata pencarian
penduduk Ranca Bayawak dengan bertani dan beternak, lahan sawah dan kolam ikan
milik kami perlahan tapi pasti dibeli oleh orang-orang kota yang hari ini
kesemuanya menjadi milik PT. Sumarecon. Sebelah barat kali mati tanah-tanah
tersebut milik dari Haji Umayah, Haji Umamah, Kiyai Haji Safei, termasuk yang
sekarang menjadi perumahan Adipura. Para petani di wilayah Gedebage ini mulai
menjual sawahnya semenjak normalisasi sungai di tahun 1997. Normalisasi sungai
ini bertujuan menghindari banjir yang terjadi dari tahun ke tahun. Namun pada
hakikatnya normalisasi tersebut hanya memindahkan banjir dari Gedebage ke Bale
Endah, Dayeuh Kolot dan Bojong Soang (tambahan dari kang Ramdan Walhi Jabar).
Tahun 2004 isyu wabah flu burung
merebak, beberapa orang di beberapa daerah terserang penyakit ini, Dinas
Kesehatan Kota Bandung dan Kecamatan Gedebage meminta kepada pak haji (bapak
kang ujang) untuk membabat rumpun-rumpun bambu agar burung-burung pergi karena
khawatir wabah flu burung. 4 rumpun bambu hilang ditebang, posisinya dekat
rumah kakak saya dan saung. Sekarang tinggal sisa 4 rumpun bambu saja.
Di tahun 2009 Walikota Bandung Dada
Rosada melirik potensi belekok, empat tahun kemudian, di tahun 2013 baru
mengunjungi Kampung Ranca Bayawak,
BICON* adalah komunitas yang paling gencar mempropagandakan mengenai keberadaan
kawasan Ranca Bayawak dengan burung belekoknya.
Bicon mendorong pemerintah agar kawasan Ranca Bayawak
dijadikan kawasan konservasi, mendorong pemerintah kala itu untuk membuat PERDA
perlindungan lingkungan deiterbitkanlah produk PERDA, entah bagaimana prosesnya
hari ini dipasang Plang PERDA NO.11 Tahun 2005 di sekitar kampung Ranca Bayawak
di dekat rumpun-rumpun bambu. Semenjak dipasang Plang Perda tersebut masyarakat
mulai sungkan untuk melakukan perburan dan mengganggu burung di kawasan Ranca Bayawak.
Kami sebagai warga Ranca Bayawak yang paling dekat dengan kawasan dimana burung
bersarang tidak lagi repot-repot mengingatkan warga yang ingin mengganggu
burung-burung tersebut, tinggal menunjukkan plang perda saja, para pengganggu
burung pun pergi, meskipun perginya para pemburu burung ini tidak menghentikan
mereka berburu burung di luar Ranca Bayawak.
*Adalah Bicons, yakni sebuah komunitas yang sangat fokus dengan upaya konservasi burung. Bicons ini merupakan singkatan dari Bird Conservation Society. Komunitas yang mulai berdiri sejak 20 September 1999.
"Birdcons sendiri basicnya orang-orang yang memiliki hobi pengamatan burung. Awalnya untuk mengaplikasikan ilmu yang diajarkan saat praktikum, salah satunya jalan jalan mengamati burung. Dari situlah awal berdirinya Bicons," ujar salah satu koordinator Komunitas Bicons Abdul Rahman Hafif.
Tak ada asap jika tak ada api, penyebab kawanan
burung-burung ini kerasan bersarang di ranca bayawak - padahal menurut para ahli, burung-burung jenis
kuntul ini adalah burung yang sensitive, tidak bisa hidup berdampingan dengan
manusia, namun seiring waktu berjalan fakta berbicara lain ; burung-burung ini
menetap di kampung di wilayah permukiman manusia, sungguh diluar kebiasaan.
Semua ini terjadi karena warga tidak mengganggu burung-burung ini, bahkan warga
menjaganya, hal inilah yang menyebabkan kawanan burung hingga hari ini eksis di
kawasan Ranca Bayawak. Tidak dipungkiri kondisi alam kampung Ranca Bayawak yang
alami dan dengan tidak diganggunya satwa-satwa ini bahkan menjaga satwa-satwa
ini dari gangguan tangan-tangan jahil, menjadikan Ranca Bayawak menjadi habitat
satwa-satwa ini tinggal dalam waktu yang sangat lama.
Normalilasi Sungai Cinambo dengan lebar 20 meter dan
kedalaman 7 meter mengakibatkan Sungai Cisarateun menjadi kering dan disebut
kali mati. Berbarengan dengan normalisasi sungai peralihan kepemilikan tanah
mulai terjadi, para pengusaha mulai melirik wilyah Gedebage, Sungai Cisaranteun
yang tidak lagi dialiri air makin kering dengan adanya sumbatan-sumbatan, dan
pengurangan bibir sungai, awalnya memiliki lebar 10 meter kini tinggal 3 sampai
4 meter saja. Kurang lebih 4 meter batas pinggir sungai semakin tidak jelas pergantian
kepemilikannya. Contoh blok sigarong milik Haji Umayah atau Haji Umamah
sungainya langsung diurug, jadi benar-benar mati sudah Sungai Cisaranteun ini.
Sebagai kepedulian pemerintah terhadap warga yang mayoritas bertani dibuatlah
PUMP HOUSE untuk mengalirkan air ke sungai cisaranteun yang telah mati untuk mengairi
sawah penduduk Gedebage. Kondisi PUMP HOUSE hari ini tidak lagi berfungsi karena
sungai cisaranteun atau kali mati sudah semakin terpampat oleh urugan-urugan “demi
pembangunan”. Para petani pun mulai tidak nyaman bertani, sejalan
dengan ketidak nyamanan para petani – para pengusaha berminat dengan investasi
lahan di wilayah Gedebage, seperti pemangsa yang siap melahap mangsanya yang
sudah tidak berdaya. Berpindahlah kepimilikan lahan dari warga Gedebage ke para
pengusaha, seakan sudah diskenariokan : petani selalu kekeringan, panen terbaik
hanya 1 (satu) tahun sekali – disisi lain para pengusaha bersiap membeli kapan
saja lahan sawah milik warga.
Tahun 2009 mulailah penguasaan PT. MAHKOTA PERMATA
PERDANA, sebagian lahan milik perumahan Adipura dibeli oleh PT. MPP, mekanisme
penguasaan lahan dari perumahan ADIPURA ke AGUNG PODOMORO GRUP (APG) kemudian
MAHKOTA PERMATA PERDANA (MPP). Harga awal pasaran hanya kisaran 125ribu rupiah
sampai 225 ribu rupiah per meter persegi. Karena pasar tanah di Gedebage ramai,
para pengusaha kecilpun memberanikan diri dengan menghargai lahan sawah
tersebut mulai dari 400 ribu rupiah per meter persegi sampai 700 ribu permeter
persegi dan akhirnya dibeli oleh sumarecon dengan harga 800 ribu rupiah
permeter persegi hingga tahun 2014. Hari ini harga sudah mencapai 1,8 juta
rupiah per meter persegi lahan sawah. Masih
ada lahan milik pemerintah di sekitar kawasan ini angkanya tidak pasti, namun
ada di beberapa titik.
Awal penguasaan tanah PT. Sumarecon adalah lahan
sawah yang terletak di tengah-tengah sawah milik warga (milik Haji Jaelani dan Pak
Wirya) sebesar 25 hektar berbatasan dengan kampung ranca bayawak memanjang hingga
ke belakang PT. Pertamina Jalan Soekarno Hatta, lahan ini membelah hamparan
sawah yang luasnya ratusan hektar membelah Kecamatan Gedebage.
Kembali mengenai burung kuntul dan belekok, biasanya
jika musim kemarau yang tersisa hanya belekok saja, tapi hari-hari belakangan
ini kuntul juga banyak bersarang. Saya diajarkan oleh nini saya untuk menanam
bambu dan petai cina (lamtoro/selong), ternyata lamtoro itu berfungsi sebagai
bahan baku pembuat sarang berkembangbiaknya belekok dan pohon bambu sebagai
rumahnya. Sarang belekok ini berbeda dengan sarang burung lain, terkesan lebih ringkih
dan apabila tertiup angin cukup kencang mudah jatuh.
Bulan oktober sampai desember itu masa kawin untuk
berkembang biak, telurnya hijau seperti warna telur bebek, bentuknya kecil
seperti telur puyuh, dierami selama 2 minggu kemudian menetas. Perawatan oleh
induknya selama 4 bulan dari januari hingga april. 4 bulan kemudian di bulan
juli-agustus baru burung ini dewasa. Secara alami jika sarang dan burung bayi
jatuh dari pohon bambu kemungkinan besar bayi burung mati, karena tidak bisa
lagi di bawa ke atas pohon bambu yang menjadi sarangnya. Untuk tetap bertahan
di ranting-ranting bambu bayi-bayi burung ini apabila tertiu angin berpegangan,
bergelantungan ke ranting bambu alam mendewasakan satwa ini dengan caranya
sendiri.
Di bulan oktober biasanya berdatangan burung migran
dari berbagai daerah, malah menurut peneliti ada yang datang dari Australia
sekedar untuk kawin dan mereka pergi lagi, pada musim ini burung-burung local
biasanya berpindah sarang ke sebelah utara karena terusir oleh burung-burung
migran. Subhanallah, Maha Suci Allah, tidak terlalu jauh berbeda jalan hidup
burung dengan manusia yang tinggal berdampingan selama puluhan tahun dengannya.
Pribumi mengalah karena kondisi yang tidak memaksa mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar