Merebaknya budidaya BSF di berbagai penjuru Kota dan Desa di Indonesia didominasi oleh para peternak unggas dan aneka jenis ikan. Hal ini mengindikasikan kebutuhan pakan ternak yang demikian tingginya, meskipun begitu namun prakiraan kami jumlah para peternak yang budidaya bsf atau setidaknya mau budidaya bsf masih terbilang sedikit dibanding yang sudah budidaya bsf.
Karena kebutuhan akan pakan ternak yang tinggi, seringkali para peternak tidak memperhitungkan terkait persoalan utama dari masalah budidaya bsf yaitu pasokan s.o.d (Sampah Organik Dapur). Seringkali para pembudidaya bsf yang awalnya adalah peternak unggas dan berbagai jenis ikan hanya menargetkan hasil maggot bsf untuk pakan ternaknya. Sampai pada saat mereka bingung memberi asupan s.o.d buat maggot-maggot mereka.
Terjadi juga di level akademisi, ternyata yang banyak melakukan penelitian terhadap budidaya bsf adalah fakultas ilmu biologi dan / atau ilmu hayati. Paling jauh yang kami tahu ekonomi kehutanan.
Jadi muncul pertanyaan kenapa di ilmu lingkungan dan / atau teknik lingkungan tidak ada? Sedangkan masalah yang muncul terkait budidaya bsf adalah bagaimana mensupply s.o.d dalam kapasitas tertentu.....
Berikut kutipan whatsaap dengan Prof Agus Pakahan , sebagai akademisi sekaligus praktisi budidaya bsf :
" ......Ide yang bagus. Kita perlu membahas mulai dari:
1. Pasar dunia. Sampai sekarang Uni Eropa belum bersedia memasukkan BSF ke dalam list yang boleh masuk dari INdonesia ke UE;
2. Perbaikan sistem pengelolaan sampah sekarang. Fakta: proses tersulit dalam pengembangan BSF adalah kesulitan mendapatkan sampah. Banyak faktor penyebabnya.
3. Isu Nagoya Protokol terkait dengan biodiversitas dll., yang belum jelas dalam prakteknya supaya semua berjalan win-win seperti apa;
4. Status apakah BSF halal, makruh atau haram? Yang jelas baru dari madzhab Imam Maliki: Semua insek halal! Tanpa hal ini dibereskan lewat MUI kita akan kerepotan nanti. dll
Dari sisi sinergitas lintas dinas dan lintas kementrian atau departemen, banyak yang pesimis karena birokrasi dan komunikasi lintas birokrat. Padahal Hulu dari budidaya bsf ini adalah "Masalah Sampah" , kabar baiknya bsf mampu menyelesaikan s.o.d (setidaknya 40% dari komposisi sampah-klhk 2018- (lihat tulisan sebelumnya)). Komposisi terbesar dari total timbulan sampah, ini tugas Kemen.PUPR & KLHK di level pusat, di tingkat provinsi dan Kabupaten / Kota dinas pu dan dlh. Pertanyaannya berapa banyak dinas-dinas yang bertebaran melakukan biokonversi bsf untuk mengurangi 40% saja dari Sampah daerah masing-masing? Atau setidaknya melakukan peran aktif memfasilitasi para pegiat BSF? Baru direktorat pengelolaan sampah KLHK Dan DLH Provinsi Jawa Barat yang kami tahu berupaya untuk melakukan sosialisasi terkait menghabiskan s.o.d dengan biokonversi bsf.
Ini adalah Hulu dari kegiatan biokonversi bsf atau budidaya bsf.
Hilirnya adalah pakan ternak, setidaknya unggas adan aneka jenis ikan. Kementrian pertanian yang membawahi direktorat peternakan belum terdengar berkegiatan terkait bsf. Yang lumayan terdengar adalah kementrian kelautan dan perikanan. Mudah-mudahan ke depan semua nya bisa sinergi sehingga persoalan persampahan Kita bisa terselesaikan dengan baik meski 40% saja.
Tidak hanya persoalan persampahan yang terselesaikan, persoalan ketersediaan pakan ternak hingga kualitas asupan nutrisi berupa protein hewani dari ternak juga.....yang luar biasanya ini semua akan membuka peluang bagi wira usaha baru (WUB) yang seeing digembar - gemborkan itu.
Semoga bermanfaat.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar