
Minggu, 31 Januari 2010
Senin, 18 Januari 2010
Proses 3R Atasi Masalah Sampah
Kamis, 12 November 2009 , 09:56:00 dari www.pikiran rakyat.com
BANDUNG, (PRLM).- PD Kebersihan targetkan 150 RW di Kota Bandung melaksanakan proses 3R (Reduce, Reuse, Recycle) pada 2010 mendatang. Dengan target 10 persen dari total sampah yang ada di Kota Bandung telah dikekola melalui 3R. Diharapkan, hal tersebut akan sejalan dengan penurunan jumlah volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Hal tersebut diungkapkan Direktur PD Kebersihan Cece Iskandar, dalam kegiatan Pelatihan Program Bank Sampah dalam sosialisasi 3R, Kamis (12/11). Target tersebut sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandung..................
Cece mengungkapkan dengan jumlah penduduk Kota Bandung yang diperkirakan mencapai 2,5 juta jiwa, timbulan sampah di sumber sampah Kota Bandung adalah 7.500 m3 perhari. Jumlah itu setara dengan 2.000 ton. Sementara, jumlah sampah yang terangkut adalah 4.050 m3 atau 1.000 ton.
Merujuk pada kondisi tersebut, Cece mengatakan perlu dilakukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya dengan melaksanakan 3R.
Ia menambahkan, dengan melakukan 3R tidak hanya akan mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA. Tetapi juga memiliki aspek ekonomi yang dapat menghasilkan. "Sampah yang sudah dipilah akan memiliki nilai jual yang tinggi. Hal itu akan memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat dan para pelaku daur ulang sampah," ujarnya.
Hal itu, lanjut Cece, telah ia rasakan langsung. Ia mengaku setiap bulannya mampu memilah sedikitnya satu karung sampah anorganik. Sampah tersebut dapat dijual dengan harga Rp 20.000. "Sampah itu bisa menghasilkan juga. Kalaupun tidak, kita bisa secara tidak langsung bersedekah dengan memberikan sampah tersebut ke pemulung, karena mereka dapat menjual sampah itu," ucapnya.
Read More......
BANDUNG, (PRLM).- PD Kebersihan targetkan 150 RW di Kota Bandung melaksanakan proses 3R (Reduce, Reuse, Recycle) pada 2010 mendatang. Dengan target 10 persen dari total sampah yang ada di Kota Bandung telah dikekola melalui 3R. Diharapkan, hal tersebut akan sejalan dengan penurunan jumlah volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Hal tersebut diungkapkan Direktur PD Kebersihan Cece Iskandar, dalam kegiatan Pelatihan Program Bank Sampah dalam sosialisasi 3R, Kamis (12/11). Target tersebut sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandung..................
Cece mengungkapkan dengan jumlah penduduk Kota Bandung yang diperkirakan mencapai 2,5 juta jiwa, timbulan sampah di sumber sampah Kota Bandung adalah 7.500 m3 perhari. Jumlah itu setara dengan 2.000 ton. Sementara, jumlah sampah yang terangkut adalah 4.050 m3 atau 1.000 ton.
Merujuk pada kondisi tersebut, Cece mengatakan perlu dilakukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya dengan melaksanakan 3R.
Ia menambahkan, dengan melakukan 3R tidak hanya akan mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA. Tetapi juga memiliki aspek ekonomi yang dapat menghasilkan. "Sampah yang sudah dipilah akan memiliki nilai jual yang tinggi. Hal itu akan memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat dan para pelaku daur ulang sampah," ujarnya.
Hal itu, lanjut Cece, telah ia rasakan langsung. Ia mengaku setiap bulannya mampu memilah sedikitnya satu karung sampah anorganik. Sampah tersebut dapat dijual dengan harga Rp 20.000. "Sampah itu bisa menghasilkan juga. Kalaupun tidak, kita bisa secara tidak langsung bersedekah dengan memberikan sampah tersebut ke pemulung, karena mereka dapat menjual sampah itu," ucapnya.
Read More......
Minggu, 17 Januari 2010
Membangun Kota (Sungai) Ramah Air
Selasa, 13 Januari 2009 | 11:16 WIB dari www.kompas.com
Oleh: Nirwono Joga*
Banyak asa yang disandarkan sehubungan dengan rencana Kompas melaksanakan Ekspedisi Ciliwung, 16-22 Januari 2009 (Kompas, 8-9 Januari). Semua tahu, Sungai Ciliwung identik dengan kota Jakarta, seperti halnya kita mengingat Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Kairo-Sungai Nil, London-Sungai Thames, Paris-Sungai Rheine, dan Melbourne-Sungai Yarra. (Bandung apa kabarmu??.pen)
Indonesia merupakan negeri air dengan kebijakan tentang air termasuk yang terburuk di dunia. Dari total 472 kota dan kabupaten, hampir 300 kota dan kabupaten dibangun dekat sumber air, baik berupa danau, daerah aliran sungai, maupun tepi pantai. Namun, sudah lama pula sebenarnya kebijakan perencanaan kota kita dan pola budaya hidup warga menganiaya sungai dan mengingkari fitrah air..................
Kebijakan tata kota kita tidak menghargai kesinambungan hidup air. Danau (situ), sungai, dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor dan tempat membuang limbah, sampah, dan hajat. Jakarta pun dijuluki kota jamban terpanjang di dunia.
Badan sungai menyempit dipenuhi bangunan (tak berizin) dan mendangkal akibat penggundulan hutan di hulu, erosi, dan sedimentasi. Situ-situ (tempat menampung kelebihan air hujan dan air sungai) justru diuruk atas nama kebutuhan lahan permukiman, tempat usaha, atau tempat buang sampah!
Air berubah menjadi sumber malapetaka. Sungai (dan saluran air) penuh sampah, berwarna hitam pekat, menebar aroma tak sedap, dan sumber penyakit lingkungan (kolera, diare, gatal-gatal, dan demam berdarah). Air sungai sudah lama tak layak minum. Puncak kemurkaan air saat air pasang di tepi pantai (rob) dan pada musim hujan air sungai meluber membanjiri kota.
Lanskap kota tak akan bertahan tanpa air yang lestari. Sejarah mencatat, kota-kota besar dunia, beradab, dan masyhur adalah kota-kota yang dibangun dekat sumber air.
Tengok kota pesisir Sydney, Los Angeles, Miami, Barcelona, kota kanal Venice, Amsterdam, dan kota sungai London, Paris, Melbourne, Manhattan. Air ditempatkan (kembali) pada tempat yang sangat mulia dan bermartabat sebagai berkah sumber kehidupan warga dan kota. Bagaimana Jakarta dengan Sungai Ciliwung dan kedua belas sungai yang mengalirinya?
Jakarta terus mengalami kekurangan air bersih sepanjang tahun. Debit air sungai dan situ menurun dan tak lama lagi mengering. Air limbah rumah tangga dan air hujan melimpah ruah terbuang percuma begitu saja melewati saluran air langsung ke sungai dan laut. Air tidak sempat ditampung dahulu ke daerah resapan air karena taman, situ, rawa-rawa, dan hutan mangrove terus menyusut diuruk untuk pembangunan kota yang tak berkelanjutan.
Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan memaksa Jakarta harus membangun kota (sungai) ramah air untuk menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Ini sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Permendagri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan.
Ada lima kriteria, yakni kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan, pengelolaan air, dan limbah ramah lingkungan.
Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak minum. Di tempat-tempat publik di terminal, stasiun, dan taman disediakan keran air minum gratis. Saluran air terhubung secara hierarkis (kecil ke besar sesuai kapasitas), tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih, dan lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan rumah harus terus digiatkan.
Sumur resapan air diperbanyak dan situ-situ direvitalisasi untuk memperbanyak serapan air ke dalam tanah dan mengurangi air yang dibuang ke sungai (ekodrainase). Pencemaran air sungai dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah menjadi air daur ulang untuk mandi, mencuci, dan menyiram.
Jakarta sebagai kota sungai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus merefungsi bantaran sungai bebas dari sampah dan permukiman, menghijaukan kembali bantaran, serta menjadikan halaman muka bangunan dan wajah kota. Meski memakan waktu dan daya tahan lama, upaya revitalisasi bantaran kali harus diikuti sosialisasi yang mendorong warga untuk berpartisipasi pindah secara sukarela bergeser (bukan tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif.
Pemerintah daerah, pengembang besar, dan perancang kota bersama membangun kawasan terpadu yang terencana matang dan layak huni. Kawasan dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem marger sari, perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi publik ke luar kawasan.
Jika tidak, warga yang tergusur pasti akan berpindah menghuni ruang hijau kota lainnya (bantaran sungai, rel kereta api, bawah jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang, dan tepian situ) di lain lokasi yang memang banyak tidak terawat. Begitu seterusnya.
Setelah itu, bantaran sungai (dan juga bantaran rel kereta api, jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang) dapat dikembangkan sebagai taman penghubung antar-ruang kota (urban park connector). Warga dapat berjalan kaki atau bersepeda menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat tujuan harian (kantor, sekolah, pasar) dengan aman, nyaman, dan bebas kemacetan sambil menikmati keindahan lanskap tepi sungai. Pengoperasionalan perahu air sebagai alat transportasi air kota (waterway) dan taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola transportasi makro terpadu Jakarta.
Sebagai daerah terbuka untuk publik yang menarik, warga dapat menggelar acara rekreasi bersama keluarga atau teman di tepi sungai setiap akhir pekan. Komunitas peduli lingkungan membentuk koperasi masyarakat cinta Sungai Ciliwung. Berbagai perhelatan turisme seperti Festival Sungai Ciliwung digelar menjadi kalender tetap pariwisata kota.
Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai, pemerintah kota harus mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih sungai setiap hari untuk mengangkut sampah tepi sungai sekaligus mengawasi pemanfaatan badan sungai oleh masyarakat.
Kelak bantaran Sungai Ciliwung pun bernilai estetis (indah, bersih, tertata rapi), ekologis (meredam banjir, menyuplai air tanah), edukatif (habitat dan jalur migrasi satwa liar), dan ekonomi (wisata air, transportasi ramah lingkungan).
Perubahan perspektif ini semoga dapat mengubah keseluruhan lanskap hunian kota Jakarta yang berpihak kepada kelestarian air, kota (sungai) ramah air, menuju kejayaan (kembali) peradaban kota tepian air.
*Arsitek Lanskap
Bagaimana dengan Bandung ??????
Read More......
Oleh: Nirwono Joga*
Banyak asa yang disandarkan sehubungan dengan rencana Kompas melaksanakan Ekspedisi Ciliwung, 16-22 Januari 2009 (Kompas, 8-9 Januari). Semua tahu, Sungai Ciliwung identik dengan kota Jakarta, seperti halnya kita mengingat Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Kairo-Sungai Nil, London-Sungai Thames, Paris-Sungai Rheine, dan Melbourne-Sungai Yarra. (Bandung apa kabarmu??.pen)
Indonesia merupakan negeri air dengan kebijakan tentang air termasuk yang terburuk di dunia. Dari total 472 kota dan kabupaten, hampir 300 kota dan kabupaten dibangun dekat sumber air, baik berupa danau, daerah aliran sungai, maupun tepi pantai. Namun, sudah lama pula sebenarnya kebijakan perencanaan kota kita dan pola budaya hidup warga menganiaya sungai dan mengingkari fitrah air..................
Kebijakan tata kota kita tidak menghargai kesinambungan hidup air. Danau (situ), sungai, dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor dan tempat membuang limbah, sampah, dan hajat. Jakarta pun dijuluki kota jamban terpanjang di dunia.
Badan sungai menyempit dipenuhi bangunan (tak berizin) dan mendangkal akibat penggundulan hutan di hulu, erosi, dan sedimentasi. Situ-situ (tempat menampung kelebihan air hujan dan air sungai) justru diuruk atas nama kebutuhan lahan permukiman, tempat usaha, atau tempat buang sampah!
Air berubah menjadi sumber malapetaka. Sungai (dan saluran air) penuh sampah, berwarna hitam pekat, menebar aroma tak sedap, dan sumber penyakit lingkungan (kolera, diare, gatal-gatal, dan demam berdarah). Air sungai sudah lama tak layak minum. Puncak kemurkaan air saat air pasang di tepi pantai (rob) dan pada musim hujan air sungai meluber membanjiri kota.
Lanskap kota tak akan bertahan tanpa air yang lestari. Sejarah mencatat, kota-kota besar dunia, beradab, dan masyhur adalah kota-kota yang dibangun dekat sumber air.
Tengok kota pesisir Sydney, Los Angeles, Miami, Barcelona, kota kanal Venice, Amsterdam, dan kota sungai London, Paris, Melbourne, Manhattan. Air ditempatkan (kembali) pada tempat yang sangat mulia dan bermartabat sebagai berkah sumber kehidupan warga dan kota. Bagaimana Jakarta dengan Sungai Ciliwung dan kedua belas sungai yang mengalirinya?
Jakarta terus mengalami kekurangan air bersih sepanjang tahun. Debit air sungai dan situ menurun dan tak lama lagi mengering. Air limbah rumah tangga dan air hujan melimpah ruah terbuang percuma begitu saja melewati saluran air langsung ke sungai dan laut. Air tidak sempat ditampung dahulu ke daerah resapan air karena taman, situ, rawa-rawa, dan hutan mangrove terus menyusut diuruk untuk pembangunan kota yang tak berkelanjutan.
Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan memaksa Jakarta harus membangun kota (sungai) ramah air untuk menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Ini sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Permendagri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan.
Ada lima kriteria, yakni kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan, pengelolaan air, dan limbah ramah lingkungan.
Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak minum. Di tempat-tempat publik di terminal, stasiun, dan taman disediakan keran air minum gratis. Saluran air terhubung secara hierarkis (kecil ke besar sesuai kapasitas), tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih, dan lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan rumah harus terus digiatkan.
Sumur resapan air diperbanyak dan situ-situ direvitalisasi untuk memperbanyak serapan air ke dalam tanah dan mengurangi air yang dibuang ke sungai (ekodrainase). Pencemaran air sungai dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah menjadi air daur ulang untuk mandi, mencuci, dan menyiram.
Jakarta sebagai kota sungai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus merefungsi bantaran sungai bebas dari sampah dan permukiman, menghijaukan kembali bantaran, serta menjadikan halaman muka bangunan dan wajah kota. Meski memakan waktu dan daya tahan lama, upaya revitalisasi bantaran kali harus diikuti sosialisasi yang mendorong warga untuk berpartisipasi pindah secara sukarela bergeser (bukan tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif.
Pemerintah daerah, pengembang besar, dan perancang kota bersama membangun kawasan terpadu yang terencana matang dan layak huni. Kawasan dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem marger sari, perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi publik ke luar kawasan.
Jika tidak, warga yang tergusur pasti akan berpindah menghuni ruang hijau kota lainnya (bantaran sungai, rel kereta api, bawah jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang, dan tepian situ) di lain lokasi yang memang banyak tidak terawat. Begitu seterusnya.
Setelah itu, bantaran sungai (dan juga bantaran rel kereta api, jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang) dapat dikembangkan sebagai taman penghubung antar-ruang kota (urban park connector). Warga dapat berjalan kaki atau bersepeda menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat tujuan harian (kantor, sekolah, pasar) dengan aman, nyaman, dan bebas kemacetan sambil menikmati keindahan lanskap tepi sungai. Pengoperasionalan perahu air sebagai alat transportasi air kota (waterway) dan taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola transportasi makro terpadu Jakarta.
Sebagai daerah terbuka untuk publik yang menarik, warga dapat menggelar acara rekreasi bersama keluarga atau teman di tepi sungai setiap akhir pekan. Komunitas peduli lingkungan membentuk koperasi masyarakat cinta Sungai Ciliwung. Berbagai perhelatan turisme seperti Festival Sungai Ciliwung digelar menjadi kalender tetap pariwisata kota.
Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai, pemerintah kota harus mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih sungai setiap hari untuk mengangkut sampah tepi sungai sekaligus mengawasi pemanfaatan badan sungai oleh masyarakat.
Kelak bantaran Sungai Ciliwung pun bernilai estetis (indah, bersih, tertata rapi), ekologis (meredam banjir, menyuplai air tanah), edukatif (habitat dan jalur migrasi satwa liar), dan ekonomi (wisata air, transportasi ramah lingkungan).
Perubahan perspektif ini semoga dapat mengubah keseluruhan lanskap hunian kota Jakarta yang berpihak kepada kelestarian air, kota (sungai) ramah air, menuju kejayaan (kembali) peradaban kota tepian air.
*Arsitek Lanskap
Bagaimana dengan Bandung ??????
Read More......
Selasa, 05 Januari 2010
Teknologi Pengolahan Sampah
by Michael Hutagalung on 30/12/07
Link terkait : Teknologi Pengolahan Sampah - Majari Magazine.mht
Pernah mendengan PLTSa? Pembangkit Listrik Tenaga Sampah? Suatu isu yang sedang hangat dibicarakan di Kota Bandung, sebuah kota besar di Indonesa yang beberapa waktu yang lalu pernah heboh karena keberadaan sampah yang merayap bahkan hingga badan jalan-jalan utamanya. Jangankan jalan utama, saat Anda memasuki Bandung menuju flyover Pasupati, Anda pasti akan disambut dengan segunduk besar sampah yang hampir menutupi setengah badan jalan. Itu dulu. Sekarang, Kota Bandung sudah kembali menjadi sedia kala dan solusi PLTSa-lah yang sedang diperdebatkan..................
Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibarak untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.
Proses Konversi Thermal
Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.

Incinerator. Sebuah ilustrasi bagian-bagian dalam sebuah incinerator.
Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.
Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.
Proses Konversi Biologis
Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara anaerobik (biogas) atau tanah urug (landfill). Biogas adalah teknologi konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas methane dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi sedangkan slurry dapat digunakan sebagai kompos. Produk dari digester tersebut berupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm3.

Modern Landfill. Konsep landfill seperti di atas ialah sebuah konsep landfill modern yang di dalamnya terdapat suatu sistem pengolahan produk buangan yang baik.
Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah. Di dalam lahan landfill, limbah organik akan didekomposisi oleh mikroba dalam tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan cair. Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan air yang dikandung oleh limbah dan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan membentuk bahan cair yang disebut lindi (leachate). Jika landfill tidak didesain dengan baik, leachate akan mencemari tanah dan masuk ke dalam badan-badan air di dalam tanah. Karena itu, tanah di landfill harus mempunya permeabilitas yang rendah. Aktifias mikroba dalam landfill menghasilkan gas CH4 dan CO2 (pada tahap awal – proses aerobik) dan menghasilkan gas methane (pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut mempunyai nilai kalor sekitar 450-540 Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil biasanya terdiri dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa yang dipasang lateral dan dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu terdapat juga sistem pengambilan gas dengan pompa desentralisasi.
Pemilihan Teknologi
Tujuan suatu sitem pemanfaatan sampah ialah dengan mengkonversi sampah tersebut menjadi bahan yang berguna secara efisien dan ekonomis dengan dampak lingkungan yang minimal. Untuk melakukan pemilihan alur konversi sampah diperlukan adanya informasi tentang karakter sampah, karakter teknis teknologi konversi yang ada, karakter pasar dari produk pengolahan, implikasi lingkungan dan sistem, persyaratan lingkungan, dan yang pasti: keekonomian.
Kembali ke Bandung. Kira-kira teknologi mana yang tepat sebagai solusi pengolahan sampah menjadi bahan berguna? Apakah PLTSa sudah merupakan teknologi yang tepat??
Referensi: Pengelolaan Limbah Industri – Prof. Tjandra Setiadi Read More......
Link terkait : Teknologi Pengolahan Sampah - Majari Magazine.mht
Pernah mendengan PLTSa? Pembangkit Listrik Tenaga Sampah? Suatu isu yang sedang hangat dibicarakan di Kota Bandung, sebuah kota besar di Indonesa yang beberapa waktu yang lalu pernah heboh karena keberadaan sampah yang merayap bahkan hingga badan jalan-jalan utamanya. Jangankan jalan utama, saat Anda memasuki Bandung menuju flyover Pasupati, Anda pasti akan disambut dengan segunduk besar sampah yang hampir menutupi setengah badan jalan. Itu dulu. Sekarang, Kota Bandung sudah kembali menjadi sedia kala dan solusi PLTSa-lah yang sedang diperdebatkan..................
Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibarak untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.
Proses Konversi Thermal
Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.

Incinerator. Sebuah ilustrasi bagian-bagian dalam sebuah incinerator.
Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.
Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.
Proses Konversi Biologis
Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara anaerobik (biogas) atau tanah urug (landfill). Biogas adalah teknologi konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas methane dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi sedangkan slurry dapat digunakan sebagai kompos. Produk dari digester tersebut berupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm3.

Modern Landfill. Konsep landfill seperti di atas ialah sebuah konsep landfill modern yang di dalamnya terdapat suatu sistem pengolahan produk buangan yang baik.
Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah. Di dalam lahan landfill, limbah organik akan didekomposisi oleh mikroba dalam tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan cair. Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan air yang dikandung oleh limbah dan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan membentuk bahan cair yang disebut lindi (leachate). Jika landfill tidak didesain dengan baik, leachate akan mencemari tanah dan masuk ke dalam badan-badan air di dalam tanah. Karena itu, tanah di landfill harus mempunya permeabilitas yang rendah. Aktifias mikroba dalam landfill menghasilkan gas CH4 dan CO2 (pada tahap awal – proses aerobik) dan menghasilkan gas methane (pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut mempunyai nilai kalor sekitar 450-540 Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil biasanya terdiri dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa yang dipasang lateral dan dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu terdapat juga sistem pengambilan gas dengan pompa desentralisasi.
Pemilihan Teknologi
Tujuan suatu sitem pemanfaatan sampah ialah dengan mengkonversi sampah tersebut menjadi bahan yang berguna secara efisien dan ekonomis dengan dampak lingkungan yang minimal. Untuk melakukan pemilihan alur konversi sampah diperlukan adanya informasi tentang karakter sampah, karakter teknis teknologi konversi yang ada, karakter pasar dari produk pengolahan, implikasi lingkungan dan sistem, persyaratan lingkungan, dan yang pasti: keekonomian.
Kembali ke Bandung. Kira-kira teknologi mana yang tepat sebagai solusi pengolahan sampah menjadi bahan berguna? Apakah PLTSa sudah merupakan teknologi yang tepat??
Referensi: Pengelolaan Limbah Industri – Prof. Tjandra Setiadi Read More......
Selasa, 01 Desember 2009
Olah Sampah Organik, Lingkungan Sehat Penghasilan Meningkat
dari : www.kompas.com
Minggu, 22 Maret 2009
MESKI orang desa, masyarakat Kampung Wargaluyu, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, sangat peduli pada sampah, bahkan mengolahnya. Setiap rumah yang ada di kanan kiri sepanjang jalan desa selebar 2 meter terdapat 2 tong sampah besar. Setiap tong tertulis Sampah Organik dan Sampah Non-Organik.
Jarak antara bibir aspal dan sungai yang hanya berjarak sekitar 50 sentimeter ditanami bunga-bungaan, sirih, dan pohon-pohon rindang seperti bungur. Sungguh asri dan teduh. Belum lagi kalau kita melongok ke sungai, sungguh jauh dari kesan jorok, keruh, ataupun bau. "Apa yang Mas lihat ini belum lama, baru tiga tahun ini kok. Baru tahun 2006," kata Seksi Organik dari Masyarakat Peduli Lingkungan (Mapeling) Ade Sobandi (46), Sabtu (21/3), ketika ditemui di sela-sela kunjungan warga RW 08 Kelurahan Petojo Utara ke Wargaluyu dalam rangka sharing pengalaman dalam pengelolaan lingkungan sehat. .................
Ade adalah salah satu dari enam penggagas dan pendiri Mapeling. Menurut Ade yang juga adalah Petugas Penyuluh Pertanian, tujuan utama Mapeling adalah supaya kampung ini bersih, hijau, sehat, dan mendapatkan air dengan mudah.
"Pokoknya supaya sadar akan kebersihan!" tegasnya.
Beberapa aktifitas yang telah dan akan dilakkukan untuk mencapai tujuan Mapeling itu adalah membuat lubang-lubang biopori untuk resapan air, pemilahan sampah organik dan anorganik, pembuatan dan penggunaan pupuk organik, kampanye cuci tangan memakai sabun, membersihkan sungai dan melakukan penghijauan di dalam kampung. "Saya lahir di sini, dan saya tahu bagaimana kampung ini dulu kumuh dan tidak sehat. Sungai keruh dan tidak ada sistem pengairan di rumah-rumah. Apalagi ketika sudah muncul plastik, sampah-sampah menumpuk di sungai," kata Ade.
Sebagai seksi organik, Ade sedang menggiatkan pembuatan dan penggunaan pupuk organik. "Caranya, hampir setiap hari penduduk di kampung ini mengumpulkan sampai organik ke rumah saya," ujar suami dari Ija Hadijah ini. Bentuknya bisa sisa makanan, buah-buah busuk, atau juga sisa sayur yang tidak dimasak. "Pengumpulan ini sangat mudah dilakukan karena setiap rumah sudah mempunyai tempat sampah terpisah, organik dan anorganik," kata Ade.
Dari sampah-sampah tersebut, dibuatlah pupuk organik dalam bentuk padat mapun cair. Pupuk-pupuk ini dipakai penduduk untuk tanaman bunga-bunga dan sayuran di pelataran rumah dan tanaman padi di sawah. "Adalah mendesak untuk menggunakan pupuk organik setelah 35 tahun tanah dihajar oleh pupuk kimia," seru Ade.
Dia mengenang kebijakan penggunaan pupuk kimia yang dilancarkan pemerintah Orde Baru itu hanya untuk mengejar swasembada beras. Padahal, kebijakan itu sangat merugikan rakyat karena tanah sekarang mati dan pembelian pupuk setiap tahun selalu naik.
"Jika fungsi tanah terus berkurang, maka padi mendapat nutrisinya langsung dari pupuk kimia. Kan sama saja kalau kita makan beras dari padi itu berarti kita makan racun," kata bapak tiga anak ini.
Menurut Ade, dalam tiga tahun ini penduduk kampung Wargaluyu mencoba pupuk organik untuk padi. Proses ini harus pelan-pelan. "Kita tidak boleh langsung menyuruh masyarakat memakai pupuk organik dan tidak menggunakan pupuk kimia. Mereka akan kecewa dan tidak mau memakai pupuk organik karena hasilnya drop. Perlu ada tahapannya," tutur Ade.
Tahapan yang Ade maksud adalah Pengolaan Tanaman secara Terpadu (PTT) dan System Rice Intensification (SRI). PTT adalah peggunaan pupuk dengan cara dicampur, pupuk kimia dan organik, sementara SRI sudah sepenuhnya memakai pupuk organik. "PTT berlangsung selama 6 kali musim. Dari musim ke musim secara bertahan pupuk kimianya dikurangi, sampai pada akhirnya diawal musim ketujuh kita akan tanam padi dengan pupuk organik secara keseluruhan," kata Ade.
Soal hasil penen, Ade mengakui ada selisih satu ton antara padi yang dihasilkan dari PTT dan SRI. Menurutnya, kalau memakai PTT satu hektar bisa menghasilkan 9 ton, sementara SRI hanya menghasilkan 8 ton. "Tapi itu sepadan dengan penghasilan yang mereka terima," kata Ade. Ia mengatakan, harga beras yang dihasilkan dari pemakaian pupuk kimia secara keseluruhan adalah Rp 4.500 per kg. Untuk beras hasil PTT dihargai Rp 5.000 per kg, dan yang terakhir dari SRI akan menghasilkan beras seharga Rp 7.000 per kg.
Siapa yang tidak mau kalau lingkungan sehat dan penghasilan meningkat? Read More......
Minggu, 22 Maret 2009
MESKI orang desa, masyarakat Kampung Wargaluyu, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, sangat peduli pada sampah, bahkan mengolahnya. Setiap rumah yang ada di kanan kiri sepanjang jalan desa selebar 2 meter terdapat 2 tong sampah besar. Setiap tong tertulis Sampah Organik dan Sampah Non-Organik.
Jarak antara bibir aspal dan sungai yang hanya berjarak sekitar 50 sentimeter ditanami bunga-bungaan, sirih, dan pohon-pohon rindang seperti bungur. Sungguh asri dan teduh. Belum lagi kalau kita melongok ke sungai, sungguh jauh dari kesan jorok, keruh, ataupun bau. "Apa yang Mas lihat ini belum lama, baru tiga tahun ini kok. Baru tahun 2006," kata Seksi Organik dari Masyarakat Peduli Lingkungan (Mapeling) Ade Sobandi (46), Sabtu (21/3), ketika ditemui di sela-sela kunjungan warga RW 08 Kelurahan Petojo Utara ke Wargaluyu dalam rangka sharing pengalaman dalam pengelolaan lingkungan sehat. .................
Ade adalah salah satu dari enam penggagas dan pendiri Mapeling. Menurut Ade yang juga adalah Petugas Penyuluh Pertanian, tujuan utama Mapeling adalah supaya kampung ini bersih, hijau, sehat, dan mendapatkan air dengan mudah.
"Pokoknya supaya sadar akan kebersihan!" tegasnya.
Beberapa aktifitas yang telah dan akan dilakkukan untuk mencapai tujuan Mapeling itu adalah membuat lubang-lubang biopori untuk resapan air, pemilahan sampah organik dan anorganik, pembuatan dan penggunaan pupuk organik, kampanye cuci tangan memakai sabun, membersihkan sungai dan melakukan penghijauan di dalam kampung. "Saya lahir di sini, dan saya tahu bagaimana kampung ini dulu kumuh dan tidak sehat. Sungai keruh dan tidak ada sistem pengairan di rumah-rumah. Apalagi ketika sudah muncul plastik, sampah-sampah menumpuk di sungai," kata Ade.
Sebagai seksi organik, Ade sedang menggiatkan pembuatan dan penggunaan pupuk organik. "Caranya, hampir setiap hari penduduk di kampung ini mengumpulkan sampai organik ke rumah saya," ujar suami dari Ija Hadijah ini. Bentuknya bisa sisa makanan, buah-buah busuk, atau juga sisa sayur yang tidak dimasak. "Pengumpulan ini sangat mudah dilakukan karena setiap rumah sudah mempunyai tempat sampah terpisah, organik dan anorganik," kata Ade.
Dari sampah-sampah tersebut, dibuatlah pupuk organik dalam bentuk padat mapun cair. Pupuk-pupuk ini dipakai penduduk untuk tanaman bunga-bunga dan sayuran di pelataran rumah dan tanaman padi di sawah. "Adalah mendesak untuk menggunakan pupuk organik setelah 35 tahun tanah dihajar oleh pupuk kimia," seru Ade.
Dia mengenang kebijakan penggunaan pupuk kimia yang dilancarkan pemerintah Orde Baru itu hanya untuk mengejar swasembada beras. Padahal, kebijakan itu sangat merugikan rakyat karena tanah sekarang mati dan pembelian pupuk setiap tahun selalu naik.
"Jika fungsi tanah terus berkurang, maka padi mendapat nutrisinya langsung dari pupuk kimia. Kan sama saja kalau kita makan beras dari padi itu berarti kita makan racun," kata bapak tiga anak ini.
Menurut Ade, dalam tiga tahun ini penduduk kampung Wargaluyu mencoba pupuk organik untuk padi. Proses ini harus pelan-pelan. "Kita tidak boleh langsung menyuruh masyarakat memakai pupuk organik dan tidak menggunakan pupuk kimia. Mereka akan kecewa dan tidak mau memakai pupuk organik karena hasilnya drop. Perlu ada tahapannya," tutur Ade.
Tahapan yang Ade maksud adalah Pengolaan Tanaman secara Terpadu (PTT) dan System Rice Intensification (SRI). PTT adalah peggunaan pupuk dengan cara dicampur, pupuk kimia dan organik, sementara SRI sudah sepenuhnya memakai pupuk organik. "PTT berlangsung selama 6 kali musim. Dari musim ke musim secara bertahan pupuk kimianya dikurangi, sampai pada akhirnya diawal musim ketujuh kita akan tanam padi dengan pupuk organik secara keseluruhan," kata Ade.
Soal hasil penen, Ade mengakui ada selisih satu ton antara padi yang dihasilkan dari PTT dan SRI. Menurutnya, kalau memakai PTT satu hektar bisa menghasilkan 9 ton, sementara SRI hanya menghasilkan 8 ton. "Tapi itu sepadan dengan penghasilan yang mereka terima," kata Ade. Ia mengatakan, harga beras yang dihasilkan dari pemakaian pupuk kimia secara keseluruhan adalah Rp 4.500 per kg. Untuk beras hasil PTT dihargai Rp 5.000 per kg, dan yang terakhir dari SRI akan menghasilkan beras seharga Rp 7.000 per kg.
Siapa yang tidak mau kalau lingkungan sehat dan penghasilan meningkat? Read More......
Selasa, 10 November 2009
Seluk beluk Kompos
Prinsip-prinsip Membuat Kompos Yang Baik
1. Rasio karbon / nitrogen
Campuran dari daun kering, serbuk ger¬gaji, atau bahan karbon lain digabung dengan kotoran
hewan, tanaman hijau, atau pupuk untuk nitrogen (approximately 4:1 by volume).
2. Perbanyak mikroorgansme
Membuat MOL atau mikro organism local, atau dari tanah kebun yang subur atau kompos.
3. Tingkat kelembapan
Kelembaban dapat ditakar dengan cara memeras bahan kompos terasa basah tetapi tidak
meneteskan air. Jika terlalu kering tambahkan air atau cairan mol bila perlu.
4. Tingkat oksigen
Tumpukan kompos sebaiknya dibalik den¬gan teratur agar dapat hancur lebih cepat (3 hari).
Membalik tumpukannya menambahkan oksigen sehingga lebih sering kamu mem¬baliknya,
semakin cepat ia hancur.
5. Ukuran Partikel
Ukuran bahan kompos sebaiknya antara 2cm2 sampai dengan maksimal 5cm2, semakin halus
ukuran partikelnya, semakin luas daerah yang ada bagi mikroorganisme untuk bekerja. Tapi
jika cacahan seperti bubur malah memperlambat proses karena kurang meratanya udara,
karena itu jika ada bahan sisa makanan yang sangat halus dalam volume besar perlu diratakan
dan dicampur dengan bahan unsure karbon. Mencacah daun-daun dan bahan yang besar
mempercepat proses kompos..................
Masalah kompos, penyebab dan solusinya
1.Tumpukan kompos lembab dan hangat hanya di tengah tumpukannya.
Penyebab :
Tumpukan kompos terlalu kecil, atau cuaca dingin telah memperlambat proses kompos, Solusi : Jika mengompos dengan cara me¬numpuk, pastikan tumpukan 1 meter tingginya dan 1 meter lebarnya. Dengan box method sistem dan segitiga udara, tumpukan tidak harus besar.
2.Tumpukan kompos tidak menghangat sama sekali.
Penyebab :
•Tidak cukup bahan nitrogen, solusi : Pastikan bahan sumber nitrogen (hijauan, nasi
basi, kotoran hewan, atau sisa-sisa makanan).
•Tidak cukup oksigen yang masuk ke kompos, solusi : Aduk tumpukannya hingga udara
merata menyentuh bahan, ingat komposter aerob membutuhkan udara yang cukup.
•Tidak cukup lembab dalam tumpukan kompos, solusi : Campur aduk tumpukannya dan
siram dengan air sehingga tumpukannya lembab - tumpukan yang sangat kering tidak
akan mengkompos. Kelembaban dikatakan cukup dengan cara meremas bahan kompos terasa
basah tapi tidak menetes air.
•Kompos siap dipanen
3.Daun-daun lengket / rumput tidak terurai.
Penyebab
a)Tidak cukup udara, dan/atau kurang lembab, solusi :
Hindari lapisan tebal suatu jenis bahan saja, sebaiknya dilakukan pencacahan,
beraneka bahan organic dengan perbandingan carbon dan nitrogen (C/N) yang cukup.
Untuk mudahnya karbon diwakili oleh bahan-bahan organic berwarna coklat dan
nitrogen diwakili dengan yang berwarna cerah (hijau, merah, kuning dsb.).
Perbandingannya supaya mudah 50:50 volume.
b)Campur lapisan-lapisan tersebut dan aduk tumpu¬kannya sehingga bahan-bahan
tersebut tercampur baik.
4.Kompos berbau asam atau busuk
Penyebab :
Tidak cukup oxygen, terlalu basah, atau terlalu padat,
Solusi : Aduk tumpukannya sehingga dapat teraliri udara. Atau gunakan lubang-lubang bambu, pagar atau segitiga udara.
•Tambahkan bahan-bahan unsure karbon, sep¬erti : jerami, serbuk atau serutan kayu,
daun-daun kering untuk menyerap kelembabpan yang berlebihan.
•Jika sangat bau, tambahkan bahan-bahan kering diatasnya dan tunggu sampai agak
kering sebelum mengaduk tumpukannya.
5.Kompos berbau seperti amonia.
Penyebab ;
Tak cukupnya bahan karbon dalam kompos,
solusi : Tambahkan bahan karbon seperti serbuk gergaji, sekam padi, daun-daunan, jerami, cacahan koran, dll.
6.Kompos dirubungi kecoa, lalat, atau binatang lain.
Penyebab :
Bahan-bahan yang tidak tepat (daging / minyak), atau bahan-bahan tersebut terlalu dekat ke permukaan atau sisi tumpukan komposnya. Solusi : Kubur sisa-sisa makanan ditengah tumpukan.
7.Kompos dirubungi Semut Api
Penyebab :
Tumpukan mungkin terlalu kering, tidak cukup hangat, dan / atau ada sisa makanan yang terlalu dekat ke permukaan. Solusi : Pastikan tumpukannya mempunyai campuran ba¬han yang baik agar dapat menghangat, dan dijaga kelembabpannya.
Membuat Kompos Dengan Box Method dan Segitiga udara


Read More......
Langganan:
Postingan (Atom)