Senin, 10 Februari 2014

Pohon Cabai Rawit Merah Pot Media Kompos




Read More......

Jumat, 01 November 2013

PARADIGMA BARU PERSAMPAHAN 1

LATAR BELAKANG
                Permasalahan penanganan sampah kota yang tidak pernah mencapai hasil signifikan karena tidak menyentuh akar persoalan, yaitu : kesadaran (bahwa sampah adalah qadar/sifat yang tetap), penanganan (bahwa sampah bukan sesuatu yang sia-sia), penerapan tekhnologi (riset, pemantauan dan aplikasi), integrasi dan koordinasi berbagai element untuk menyatukan nilai-nilai.
                Tahun 2005 yang menjadikan Kota Bandung berjulukan Kota Sampah karena ditutupnya TPA (tempat pembuangan akhir) Leuwigajah seiring dengan longsornya gunungan sampah yang menelan puluhan korban.
                Isyu perubahan iklim yang di awali dengan Komitment internasional dalam konferensi perubahan iklim di Kopenhagen 7 sampai 18 Desember 2009, melibatkan sejumlah besar Negara dan tenaga ahli, kesimpulannya adalah mengatasi sebab - akibat  dengan menyeimbangkan dan menjaga standar hidup dan kondisi alam ; sumber daya di satu sisi dan perubahan iklim di sisi lain. Dalam konferensi ini disimpulkan penyebab masalah lingkungan adalah produksi, pengembangan teknologi atau eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan umat manusia. Kebutuhan manusia menjadi pangkal utamanya.
                Tindakan-tindakan lain yang berusaha dijadikan solusi dalam penanganan masalah persampahan baik oleh para penggiat lingkungan khususnya aktifis di bidang persampahan serta para pelaku persampahan dalam hal ini adalah pemerintah atau pelaku bisnis persampahan baik bidang jasa maupun jual beli komuditi daur ulang sampah nonorganic, hanya menampakkan segi keuntungan/materi dari setiap kegiatan meskipun ada yang menyentuh aspek-aspek kesadaran tidak di dasari oleh pondasi yang kokoh sehingga menghasilkan pemikiran atau ide mendasar yang dengan hal tersebut akan memicu pola-pola solfing-problem/penyelesaian persoalan yang mendasar sehingga mampu menyelesaikan persoalan persampah secara tuntas.

DEFINISI
                Sebuah definisi sebaiknya memberikan informasi yang jelas mengenai fakta sesuatu, hubungan informasi dan fakta inilah yang menjadi definisi. Definisi sampah menurut bali focus sebuah lembaga persampahan di Bali adalah berbagai benda padat atau cair yang terbuang dari hasil kegiatan manusia atau alam dan dianggap tidak berguna(BALI FOKUS). Yang perlu dicermati dari apa yang coba didefinisikan balifokus adalah kalimat berbagai benda padat atau cair yang terbuang dari hasil kegiatan manusia atau alam dan dianggap tidak berguna. Definisi ini tidak memberikan informasi yang jelas dan hanya mengutarakan fakta mengenai sampah atau limbah sehingga kesan yang timbul adalah sampah/limbah - hasil perbuatan manusia/alam secara utuh – tanpa melihat faktor-faktor dimana manusia, binatang dan alam ini menguasai atau tidak produktifitas tersebut atau produksi sampah itu adalah dampak lain dari kebutuhan hidup makhluk yang tidak bisa dihindari.
                Hal yang sama juga terjadi pada definisi yang dibuat dalam konferensi perubahan iklim di Kopenhagen Desember 2009, Dalam konferensi ini disimpulkan penyebab masalah lingkungan adalah produksi, pengembangan teknologi atau eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan umat manusia. Kebutuhan manusia menjadi pangkal utamanya.
                Ada beberapa pertanyaan yang wajib dijawab sebelum meneruskan kepada definisi yang benar :
1.       Sampah diproduksi oleh makhluk – baik hidup maupun mati – baik bergerak maupun diam adalah dikarenakan oleh kebutuhan hidup setiap makhluk, pertanyaannya adalah apakah kebutuhan hidup utama seperti makan-minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain ada karena keinginan manusia? Kebutuhan ini ada dan wajib dipenuhi sehingga kehidupan dapat terselenggara dengan baik, jika kebutuhan ini tidak dipenuhi dapat dipastikan tidak akan ada kehidupan. Maka dengan sendirinya sampah adalah bagian dari kehidupan itu sendiri yang mustahil dihindari.
2.       Jika kebutuhan hidup ini mustahil dihindari maka jelas, pokok persoalannya bukanlah kebutuhan hidup (manusia/makhluk) tapi bagaimana cara atau metode untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pertanyaan berikutnya : haruskah pemenuhan kebutuhan hidup (manusia/makhluk) mengorbankan kebutuhan hidup (manusia/makhluk) lainnya? Jika jawabannya “Ya” maka manusia tidak berbeda dengan binatang – dimana hukum (kausalitas) yang berlaku adalah “hukum rimba”. Jika jawabannya “Tidak” maka setiap penyelesaian persoalan (solfing problem) mutlak harus melibatkan berbagai factor dan elemen kemudian dikoordinasikan dengan benar sehingga tidak memunculkan persoalan baru.
3.       Bagaimana mengkoordinasikan berbagai factor tersebut? Faktor utama yang penting adalah asas dari metode penyelesaian persoalan, asas ini harus mendasar dan kuat mengakar sehingga akan menjadi sebuah “kesadaran yang kokoh”. Kesadaran inilah yang kemudian akan menjadi pola-pola di masyarakat sebagai metodenya. Salah satu metode penyadaran adalah dengan memberikan secara jelas fakta buruk dan fakta baik, dimana siapa saja harus di arahkan untuk meninggalkan keburukkan dan menuju kepada kebaikkan.
4.       Meninggalkan fakta buruk – menjadikannya pelajaran – membangun sebuah jembatan menuju fakta baik. Bumi, langit dan laut diciptakan oleh Sang Pencipta Allah SWT., Dia lah satu-satunya pencipta, maka sebaik-baik setiap penyelesaian persoalan (solfing problem) adalah datang dari Nya. Dalam hal ini “Islam menjawab persoalan persampahan ini dengan tuntas dari akar, pohon hingga mampu berbuah yang dapat dinikmati seluruh manusia.    
PANDANGAN ISLAM
                Islam memecahkan masalah dengan pertimbangan semua aspek baik materi, spiritualmanusia dan moral. Ajaran Islam mengatur segalanya sehingga sesuai dengan nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, nilai material tidak lebih utama ketimbang nilai-nilai lain, dan tidak ada nilai yang diabaikan sehingga satu nilai mendukung nilai yang lain, nilai-nilai tersebut secara integral dikoordinasikan.
                Islam tidak melarang manusia untuk menikmati berkah-berkah Allah, juga tidak melarang untuk bekerja, atau mendapatkan keuntungan dan kekayaan. Sebaliknya, Islam mewajibkan berkerja demi kemajuan kehidupan manusia, Allah SWT berfirman :
" Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. "[TMQ. Al-A'raf 7:32]
                Namun, Islam tidak mempeerbolehkan sebagian orang menikmati (rizki Allah) sementara yang lain tidak dapat memenuhi kebutuhan primer mereka. Karena Islam memandang masalah ekonomi terkait dengan distribusi kekayaan dan bukan kelangkaan (barang atau jasa). Oleh karena itu perhatian Islam tidak ditujukan kepada peningkatan produksi, melainkan distribusi harta yang adil (pemenuhan kebutuhan primer), karena Islam telah bertekad untuk memberantas kemiskinan, dan untuk menjamin keseimbangan dalam menjaga kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta individu. Dengan demikian, Islam tidak mengabaikan kebutuhan individu yang mendukung masyarakat, juga tidak mendukung kebutuhan individu dengan mengorbankan masyarakat. Islam tidak membenarkan kondisi tidak manusiawi yang terjadi di sebagian besar dunia hari ini di bawah sistem kapitalistik, hanya karena hawa nafsu penimbunan kekayaan oleh segelintir orang terjadi.
                Islam membentuk individu yang senantiasa mengingat dan merasa diawasi Allah dalam segala urusan, dan individu secara sukarela menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Nya, bahkan berkorban untuk memenuhi kewajiban tersebut. Setiap individu muslim dapat dipastikan menjauhkan diri dari keserakahan dan Konsumsi yang berlebihan. Syariah Islam memastikan kegiatan ekonomi sesuai dengan moral dan nilai-nilai spiritual, kegiatan ekonomi bukan menjadi aktivitas materi belaka yang tidak memperhatikan apa pun kecuali keuntungan. Dengan demikian, Islam menghilangkan jenis perilaku manusia yang mengarah kepada ketidak seimbangan lingkungan.

KESIMPULAN
                Permasalahan sampah adalah fardhu kifayah, artinya kewajiban yang jika dituntaskan permasalahannya oleh seseorang atau sekelompok orang maka gugurlah kewajiban seluruh manusia. Sebaliknya jika permasalahan ini tidak tuntas maka tanggung jawabnya menjadi beban bagi seluruh manusia.
                Sampah adalah konsekuensi hidup sebagaimana kebutuhan hidup (makan, minum, buang air dsb) yang ada bersamaan dengan adanya makhluk itu sendiri. Maka segala konsekuensi hidup ini seharusnya tidak menjadi masalah – bahkan Islam di dalam Al Qur’an menyebutkan bahwa tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan, demikian hal nya dengan sampah.
                orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi : "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
(QS. AL IMRAAN (3) ayat 191)

TEKHNIS
1.       Sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat, bisa dimulai dalam skala rw atau rt.
2.       Konsolidasi kepada pihak-pihak terkait yang secara nyata terlibat baik kepentingan maupun kemashlahatan, menyangkut output dari hasil sampah yang diolah.
3.       Membuat jejaring dengan cara melakukan sosialisasi dan konsolidasi di wilayah lain atau pihak-pihak lain.
4.       Pendalaman Riset dan tekhnologi dalam persoalan sampah berdasarkan kausalitas sampah dalam skala kecil melibatkan masyarakat terdekat, mendaur ulang sampah dimulai dari yang termudah.
5.       Integrasi dengan pihak-pihak terkait sebagaimana konsolidasi telah dilakukan, membuat sebuah rencana jangka menengah pengelolaan sampah.
6.       Membangun infrastruktur, sarana dan prasana persampahan.
7.       Aplikasi skala menengah  untuk mewujudkan integrasi yang saling menguntungkan.
8.       Monitoring dan kontrol, serta pembinaan rutin.
9.       Pengembangan.

               
               



Read More......

Selasa, 22 Oktober 2013

One day harvest of mature black soldier fly larvae

Read More......

Black Soldier Fly Project ~ Homemade BSF composting bin

Read More......

LARVA LALAT BLACK SOLDIERS PENGGANTI PAKAN TERNAK

http://www.youtube.com/watch?v=ipzhH1JItrM


Read More......

PEMBUATAN LUBANG BIOPORI WARGA GCA





Read More......

Minggu, 15 September 2013

TATA RUANG DALAM ISLAM, "PLTSa TIDAK LAYAK DEKAT PERMUKIMAN"

Status Kepemilikan dan Pemanfaatan Lahan

konversi lahan milik pribadi untuk fasilitas umum membutuhkan izin dari pemiliknya

Tata ruang dan pembangunan tersebut jelas membutuhkan lahan. Lahan yang dibutuhkan ini adakalanya milik umum, milik negara atau masih menjadi milik pribadi. Untuk daerah-daerah yang baru dibuka, lahan-lahan yang ada di sana umumnya merupakan tanah tak bertuan, sehingga statusnya bisa dinyatakan sebagai milik umum hingga ada yang menghidupkannya. Berbeda dengan daerah yang telah berpenduduk. Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, lahan yang digunakan oleh Nabi untuk mendirikan Masjid Nabawi adalah tanah milik Sahal dan Suhail bin ‘Amru. Keduanya anak yatim, yang diasuh oleh Muadz bin Afra’ Sahl.

Dalam as-Sirah an-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam dituturkan, bahwa ketika mengetahui perintah Allah untuk mendirikan masjid di tempat itu, Muadz bin Afra’ Sahl menyatakan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, tempat penjemuran ini milik Sahal dan Suhail, keduanya anak Amr. Keduanya anak yatim, dan masih keluargaku. Saya akan meminta kerelaan keduanya, kemudian jadikanlah tempat tersebut sebagai masjid.” Di tempat itulah masjid dan rumah Nabi SAW dibangun (Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, I/449).

Dari riwayat ini jelas, bahwa konversi lahan milik pribadi untuk fasilitas umum, termasuk kediaman sang pemimpin agung tadi membutuhkan izin dari pemiliknya. Ini juga ditegaskan dalam hadits Nabi yang lain, “La yahillu limri’in an ya’khudza ‘asha akhihi bighairi thayyibi nafsin minhu (Tidaklah halal seseorang untuk mengambil tongkat milik saudaranya, kecuali atas kerelaannya).” (HR Ibn Hibban)

Hal yang sama berlaku dalam pembangunan fasilitas umum lainnya, jika fasilitas ini dibangun dengan menggunakan lahan milik pribadi. Izin yang diberikan pemiliknya bisa dengan kompensasi atau tidak. Jika dengan kompensasi, maka itu pun didasarkan atas pertimbangan kerelaan dari pemiliknya. Demikian juga, jika izin tersebut diberikan tanpa kompensasi apapun, juga harus dengan kerelaannya.
milik umum tidak bisa dijadikan milik pribadi atau golongan

Sebaliknya, jika ada lahan milik umum kemudian dikonversi menjadi milik pribadi, maka harus dilihat faktanya. Jalan, rel kereta api, pinggiran sungai, tepian pantai atau yang lain, maka lahan-lahan tersebut tidak boleh dikonversi atau digunakan untuk kepentingan pribadi, yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Jalan dibangun untuk melancarkan perjalanan, maka tidak boleh menggunakan jalan atau mengizinkan penggunaan jalan untuk menaruh barang dagangan, bahan bangunan, parkir mobil, kendaraan dan sebagainya, karena penggunaan seperti ini bisa merusak fungsi jalan sebagai jalan. Demikian juga rel kereta api dan lahannya, pinggiran sungai atau tepian pantai tidak boleh digunakan untuk tempat tinggal, atau kegiatan yang bisa mengalihkan fungsinya dari fungsi sehingga menghambat kelancaran kereta api, aliran sungai atau laut dan sebagainya.

Termasuk kawasan puncak yang menjadi kawasan konservasi dan resapan air, dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman yang bisa merusak fungsinya. Ini juga merupakan lahan milik umum, dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang diproteksi) agar tidak dirusak atau dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan, maka daerah-daerah di bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air kiriman dari kawasan puncak, karena air tersebut tidak lagi bisa diserah oleh kawasan di atasnya, karena telah dialihfungsikan.

Di sini, Qadhi Hisbah dan Dar al-Hisbah bisa melakukan tindakan paksa, jika penggunaan lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan kepentingan publik, seperti kecelakaan kereta api, meluapnya air sungai, banjir rob air laut maupun banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sebagaimana mestinya. Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan sebagaimana fungsi dan peruntukannya. [(Hafizh Abdurrahman)]

Terkait dengan rencana pembangunan PLTSa di Kota Bandung yang dekat permukiman maka pemerintah wajib meminta izin kepada lingkungan sekitar untuk rencana tersebut, jika ada satu orang saja yang menolaknya maka tidak bisa dilaksanakan, apalagi fakta buruk yang terjadi di beberapa kota di luar dan dalam negeri maka uji kelayakan harus dilakukan dengan sebuah simulasi kecil, misalnya membangun simulasi PLTSa skala kecil di kantor walikota yang linear dengan PLTSa yang akan dibangun di gedebage. Begitu juga mengenai banjir yang selalu melanda Bandung pada umumnya hampir serupa dengan  penuturan di atas dimana lahan tidak diperguanakan sesuai dengan peruntukannya, maka yang terjadi adalah hujan yang seharusnya menjadi rahmat malah jadi musibah. Padalah Allah telah mengingatkan dalam Al Qur'an surat Ar Ruum (30) ayat 41; Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Read More......